![]() |
| Ilustrasi |
Ada cinta yang tak perlu diucapkan. Ia hidup di antara jeda napas, di sela doa, dan di balik pandangan yang menunduk. Cinta itu tidak menuntut untuk diingat, hanya ingin menjadi bagian kecil dari perjalanan seseorang menuju surga. Begitulah cinta yang dimiliki Sawdah binti Zam‘ah — cinta yang lahir dari luka, tumbuh dalam kesepian, dan berakhir dalam keikhlasan.
Sawdah bukan perempuan muda dengan wajah memesona. Ia bukan Khadijah yang bijak, bukan Aisyah yang cerdas, bukan Hafshah yang tegas. Ia hanya seorang janda tua yang pernah kehilangan, namun masih menyisakan cahaya lembut dalam hatinya. Di balik kesederhanaan itu, ada samudra kasih yang dalam — tak berombak, tapi abadi.
Sebelum mengenal Rasulullah ﷺ, Sawdah pernah hidup bahagia bersama suaminya, As-Sakran bin ‘Amr. Mereka adalah pasangan yang beriman, yang rela meninggalkan tanah kelahiran demi menjaga akidah. Bersama, mereka berhijrah ke Habasyah — tanah asing di mana mereka hanya punya satu sama lain.
Namun, tak semua perjalanan berakhir dengan tangan yang masih bergandengan. As-Sakran wafat di tengah perjalanan iman itu, meninggalkan Sawdah sendirian. Dunia tiba-tiba senyap. Dan kesunyian, pada saat itu, menjadi satu-satunya teman yang setia menemaninya.
Ketika Rasulullah ﷺ kehilangan Khadijah, dunia beliau pun kehilangan warna. Bayangan duka menyelimuti rumahnya. Tidak ada lagi tangan lembut yang menyeka peluh, tidak ada lagi suara menenangkan setiap kali beliau kembali dari medan dakwah yang penuh cacian. Dalam kesepian itulah, Allah mempertemukan dua jiwa yang sama-sama kehilangan.
Rasulullah ﷺ menikahi Sawdah bukan karena daya tarik duniawi, tapi karena kasih sayang dan tanggung jawab. Beliau ingin melindungi perempuan beriman yang kini sendiri, ingin memberinya tempat di bawah naungan cinta yang mulia. Maka jadilah Sawdah istri kedua Rasulullah, bukan sebagai pengganti Khadijah, tapi sebagai penghibur di masa sunyi.
Hari-hari mereka sederhana. Tak ada pesta, tak ada permata, tak ada kemewahan. Hanya rumah kecil di Madinah yang menjadi saksi dua hati yang belajar saling memahami. Sawdah melayani Rasulullah dengan penuh ketulusan — menyiapkan makanan, mengurus rumah, dan mendampingi beliau dalam diam yang penuh makna.
Di dalam rumah itu, senyum Sawdah menjadi cahaya kecil di tengah malam-malam panjang. Ia tahu betul, cinta sejati tidak selalu harus memiliki ruang yang besar dalam hidup seseorang — cukup punya makna di sudut yang sunyi, tapi abadi di hati.
Sawdah punya selera humor yang lembut. Kadang ia membuat Rasulullah tersenyum dengan kata-kata sederhana. Namun di balik canda itu, ada kesadaran mendalam: bahwa suatu hari, rumah ini akan kembali ramai dengan cinta-cinta baru. Dan ia mungkin hanya akan menjadi penonton yang diam di tepi.
Ketika Rasulullah ﷺ mulai menikah lagi, Sawdah tidak cemburu, meski hatinya tentu bergetar. Ia tahu cinta suci tidak pernah meminta agar dicintai balik dengan ukuran yang sama. Ia tetap di sana — menyiapkan air wudu, menunggu suaminya pulang dari masjid, tersenyum lembut ketika rumah mulai dipenuhi suara istri-istri muda yang lain.
Pada suatu hari, Sawdah berkata dengan suara tenang namun menusuk jiwa:
“Aku serahkan giliranku kepada Aisyah, asalkan aku tetap menjadi istri beliau di akhirat.”
Itu bukan kalimat biasa. Itu adalah wujud tertinggi dari cinta yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Ia tidak ingin bersaing, tidak ingin merebut perhatian. Ia hanya ingin tetap dekat, meski di dunia mungkin tidak lagi sering bersua. Ia ingin menjadi bagian dari perjalanan suci itu — sampai ke akhirat.
Kalimat itu seperti sayatan halus di dada. Betapa cinta yang tulus kadang berwujud pengorbanan, bukan kepemilikan. Sawdah mengajarkan bahwa kebahagiaan bukan ketika kita dicintai, tapi ketika kita bisa mencintai tanpa syarat.
Bayangkan sore di Madinah: cahaya jingga keemasan menembus jendela tanah liat, mengenai wajah Sawdah yang berkerut namun damai. Di depannya ada cawan air wudu setengah terisi, di sudut ruangan lampu minyak kecil hampir padam. Rumah itu tenang, tapi di balik ketenangan ada rindu yang perlahan-lahan menetes bersama air mata.
Ia memandang ke arah pintu yang setengah terbuka — seolah masih menunggu langkah seseorang yang dulu sering datang dengan debu perjalanan di wajahnya. Tapi kini hanya bayangan Masjid Nabawi di kejauhan, samar dalam sinar sore, yang menjadi saksi sisa rindu yang tak pernah padam.
Seekor burung merpati bertengger di ambang jendela, seperti membawa pesan dari langit. Udara sore lembut menyentuh wajah Sawdah, dan di senyum tipisnya, tersimpan seluruh kepasrahan yang paling indah: menerima takdir dengan cinta, tanpa keluh, tanpa amarah.
Hari demi hari berlalu. Sawdah hidup dalam kesederhanaan, menjauh dari gemerlap dunia. Ia tidak meninggalkan banyak harta, tapi meninggalkan jejak cinta yang tidak lekang. Ketika waktu menjemputnya, ia pergi dalam damai, dengan hati yang penuh doa agar kelak bisa kembali berjumpa dengan Rasulullah ﷺ di surga.
Tak banyak yang menulis kisah tentangnya. Namanya jarang disebut di mimbar, kisahnya jarang dikisahkan di majelis. Tapi di sisi Allah, cinta yang sunyi seperti inilah yang justru paling mulia — karena tidak mencari sorotan, hanya mencari ridha.
Sawdah binti Zam‘ah mengajarkan bahwa cinta sejati tidak selalu datang dengan pelukan, tidak selalu indah di dunia. Kadang cinta sejati datang dalam bentuk pengorbanan, kesabaran, dan doa yang dibisikkan di malam sunyi.
Dan mungkin, di langit Madinah, masih ada cahaya lembut yang turun setiap sore — cahaya dari cinta yang tidak menuntut apa-apa, hanya ingin menemani seseorang agar tidak merasa sendirian di jalan menuju Allah. Itulah cinta Sawdah, cinta yang menolak dilihat, tapi selalu ada — di balik kesunyian yang menyala (***)


