![]() |
| Kalau sistem ASN kek gitu disetujui maka makin menutup langkah anak-anak muda didepan, karena pemerintah “mengamankan” status bagi yang sudah ada di dalam, maka peluang rekrutmen baru makin kecil. Ilustrasi: Banyuasin Pos |
Opini, Banyuasin Pos – Belakangan ini, linimasa ramai banget sama desakan dari para pegawai PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang pengin diangkat jadi PNS tetap. Katanya, biar “adil”. Katanya juga, “kan sama-sama kerja buat negara.” Hmm, sah-sah aja sih minta yang terbaik, tapi kalau dilihat dari sisi lebih luas, ini kayak drama lama yang diputar ulang dengan judul baru: “Status Lebih Penting daripada Sistem.”
Kita tahu, status PNS di Indonesia itu masih kayak “holy grail” — sakral, diidam-idamkan, dan disembah setengah mati. Jadi, wajar kalau sebagian orang merasa status PPPK tuh kayak “adik tiri yang kurang diperhatiin.” Tapi… kalau semuanya sibuk berebut status, siapa yang mikirin sistemnya?
Masalahnya, generasi muda — termasuk kita, para Gen Z — lagi nyari napas di tengah dunia kerja yang makin nggak pasti.
Lowongan makin sedikit, kompetisi makin brutal, dan yang paling ironis: posisi yang udah ada malah sibuk ribut soal alih status, bukan alih kompetensi.
Padahal, tahun 2045 tuh udah di depan mata, dan pemerintah bilang kita bakal jadi Indonesia Emas. Tapi kalau “emas”-nya cuma di atas kertas SK Pegawai, bukan di kualitas SDM-nya, ya siap-siap aja Indonesia jadi “Emas Imitasi” — kinclong di luar, tapi rapuh di dalam.
Kalau ditarik mundur, PPPK itu sebenarnya lahir buat nyari jalan tengah: biar birokrasi bisa fleksibel tapi tetap profesional.
Nggak harus semua orang dikontrak seumur hidup cuma buat tanda tangan absen dan nunggu tunjangan pensiun, kan?
Tapi sekarang, malah muncul desakan supaya PPPK diubah jadi PNS — alias, balik ke sistem lama yang justru bikin SDM negara susah berinovasi.
Lucunya, di saat negara lain lagi sibuk ngomongin upskilling, AI literacy, dan flexible governance, kita malah masih sensian soal siapa yang “lebih pegawai dari yang lain”.
Nah, ini bagian yang paling ngena buat kita — para pencari kerja muda, umur 20–30-an, yang lagi berjuang di pasar kerja digital dan global.
Kalau sistem ASN kek gitu disetujui maka makin menutup langkah anak-anak muda didepan, karena pemerintah “mengamankan” status bagi yang sudah ada di dalam, maka peluang rekrutmen baru makin kecil. Efeknya? Generasi Z dan Milenial akhir bisa jadi korban sistem yang terlalu nyaman dengan dirinya sendiri, karena ulah bapak ibuknya yang ngatur kebijakan.
Bayangin aja, pas 2045 nanti — yang katanya kita bakal jadi bonus demografi emas — ternyata lapangan kerja negara udah penuh sama pegawai yang “tetap”, tapi sistemnya nggak jalan. Lah, siapa yang mau jadi “penggerak perubahan” kalau kursinya aja nggak ada?
Alih status PPPK ke PNS itu kelihatannya kecil, tapi dampaknya besar banget. Karena itu bukan cuma soal hak pegawai, tapi soal arah negara memandang kerja dan kinerja.
Apakah negara masih mau terjebak di sistem feodal berbasis status?
Atau mau beranjak ke masa depan yang menilai orang dari kompetensi dan kontribusinya?
Kalau generasi kita (Gen Z) boleh jujur:
Kami nggak butuh jaminan pensiun yang bikin stagnan.
Kami butuh sistem yang transparan, kompetitif, dan manusiawi.
Karena dunia kerja sekarang bukan tentang siapa yang paling lama bertahan — tapi siapa yang paling cepat beradaptasi.
Jadi, kalau hari ini orang sibuk mendesak “PPPK harus jadi PNS”, mungkin kita perlu tanya balik:
Apakah negara butuh lebih banyak pegawai tetap, atau lebih banyak pegawai yang tetap berdaya, Kompeten, Kredibel, Akuntabel, intinya BerAkhlak lah ya?
Karena kalau cita-cita “Indonesia Emas 2045” cuma diisi orang yang sibuk mikirin stempel kepegawaian, bukan kualitas kerja,
ya siap-siap aja, 2045 nanti kita bukan jadi negara maju — tapi negara yang terlalu nyaman jadi legenda administratif.(*)



