![]() |
| Ilustrasi |
Di suatu sore yang tenang di Madinah, ketika bayang pohon kurma mulai memanjang, Aisyah duduk sendiri di serambi rumah kecil yang dulu menjadi tempat Rasulullah ﷺ bernaung. Udara sore itu membawa debu kenangan — setiap bisik angin terasa memanggil nama yang tak lagi bisa dijawab dengan suara.
Rumah itu kecil. Hanya beberapa langkah dari mimbar masjid, tapi bagi Aisyah, jaraknya seperti lautan yang tak bisa diseberangi. Di dinding yang dulu bersandar punggung Rasulullah, masih tersisa kehangatan yang ia jaga dengan air mata dan doa. Betapa berat hidup dalam kenangan yang terlalu indah untuk dilupakan, dan terlalu sakit untuk dikenang.
Aisyah bukan hanya istri seorang nabi. Ia adalah saksi bisu dari setiap detak perjuangan, dari malam-malam panjang ketika Rasulullah berdoa untuk umat yang bahkan belum lahir. Ia mendengar bisikan cinta dan doa yang tak pernah egois, doa untuk dunia yang sering lupa bersyukur. Maka, ketika beliau berpulang, dunia Aisyah seakan kehilangan langitnya.
“Wahai kekasihku,” mungkin begitu ia berbisik dalam hatinya, “Engkau telah pergi, tapi sunnahmu tetap hidup dalam setiap nafasku. Aku menunggu bukan dalam putus asa, tapi dalam harapan akan pertemuan yang dijanjikan.”
Dan begitulah Aisyah hidup: dengan kitab di tangannya, air mata di pipinya, dan langit yang selalu mengingatkan bahwa cinta sejati tak berakhir di liang kubur. Ia mengajarkan bahwa kehilangan bukan akhir dari kasih, tapi gerbang menuju makna yang lebih dalam — bahwa mencintai Rasulullah bukan sekadar mengikuti, tapi juga menanggung rindu yang tidak bertepi (***)


