-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Hari-Hari Terakhir Aisyah: Sunyi yang Diselimuti Doa

Jumat, 19 Desember 2025 | 07.01 WIB | 0 Views Last Updated 2025-12-19T00:01:00Z
Ilustrasi 

Malam di Madinah selalu punya cara sendiri untuk bicara pada yang kesepian. Angin membawa aroma pasir dan doa, bercampur dengan gema azan yang menua di antara dinding batu. Di rumah kecilnya — yang kini hanya dikenal sebagai hujrah — Aisyah terbaring lemah. Usianya telah jauh dari masa muda, tapi matanya masih menyimpan cahaya yang dulu pernah memantul di wajah Rasulullah ﷺ.


Di antara helaan napasnya yang pendek, kadang ia tersenyum kecil.
Bukan karena bahagia, tapi karena mengenang — setiap sujud Rasulullah di tikar daun kurma, setiap lembutnya suara beliau memanggil, “Ya Aisy…” dengan kasih yang tak pernah menyakitkan. Cinta itu seperti bayang lampu minyak, redup tapi tak padam.

Murid-muridnya masih datang silih berganti. Mereka menanyakan hukum, meminta penjelasan hadits, mencatat setiap kata dengan hati-hati, seolah setiap hurufnya adalah warisan langit. Tapi Aisyah sudah tahu, waktunya hampir tiba. Dunia, baginya, sudah menjadi halaman terakhir dari kitab yang lama ia baca dengan air mata dan iman.


Suatu malam, ketika bintang-bintang bersinar lembut di atas kota Nabi, Aisyah berkata pelan kepada orang terdekatnya:

“Jangan kuburkan aku di sisi Rasulullah. Aku tak pantas menempati tempat itu, karena beliau dimakamkan bersama dua sahabat mulia. Kuburkanlah aku di Baqi’. Di sana aku bisa menunggu dengan tenang.”

 

Kata-kata itu seperti angin yang menutup pintu dengan lembut — tidak ada tangisan keras, hanya keikhlasan yang menetes sunyi.


Ketika fajar menyingsing, tubuh Aisyah sudah tenang.
Madinah pagi itu seakan berhenti bernafas sejenak. Tidak ada tangis nyaring, hanya isak tertahan di antara orang-orang yang tahu: hari itu, ilmu kehilangan sumbernya, dan cinta kehilangan saksi terakhirnya.

Di Baqi’, tanah yang lembut menerima jasadnya. Tidak ada kemewahan, hanya kesederhanaan — seperti hidupnya. Orang-orang berdiri lama di sisi makam itu, mendengar gema ayat yang dibaca perlahan. Dan entah mengapa, angin sore hari itu terasa lebih damai.


Karena cinta yang hidup dalam keikhlasan tidak mati.
Ia hanya berpindah tempat — dari dunia ke keabadian (***) 

×
Berita Terbaru Update