-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Khadijah: Cinta yang Bertahan Setelah Kepergian

Jumat, 05 Desember 2025 | 06.04 WIB | 0 Views Last Updated 2025-12-04T23:04:00Z
Ilustrasi 

Di antara banyak nama perempuan yang pernah menghiasi sejarah, nama Khadijah binti Khuwailid selalu disebut dengan keharuan. Ia bukan hanya seorang istri Nabi, tetapi seorang peneguh keyakinan di saat dunia belum percaya. Ia adalah pelita pertama yang menyala di kegelapan awal kenabian, cahaya lembut yang menuntun seorang suami menuju kekuatan.


Khadijah lahir dari keluarga Quraisy yang terpandang. Sejak muda, ia dikenal karena kebijaksanaannya, kemuliaan akhlaknya, dan kemampuannya berdagang. Di masa ketika perempuan jarang memiliki ruang, Khadijah berdiri tegak sebagai pengusaha sukses, dihormati oleh kaum lelaki sekalipun. Namun di balik kejayaan itu, ada ruang hening dalam dirinya — ruang yang menanti makna yang lebih dalam daripada harta dan nama.


Ia pernah menikah dua kali sebelum akhirnya menjadi janda yang mapan. Tapi di balik status dan kemakmuran itu, Khadijah menyimpan rindu yang tak biasa: rindu akan kebenaran, akan cahaya yang belum sempat dikenal dunia. Ia menunggu sesuatu yang suci — bukan dalam bentuk rupa, tapi dalam bentuk nurani.


Nama Muhammad bin Abdullah mulai terdengar di telinganya sebagai seorang pemuda jujur, lembut, dan amanah. Orang-orang memanggilnya Al-Amīn, yang terpercaya. Ketika Khadijah mempercayakan urusan dagangnya kepada pemuda itu, ia tidak menyangka bahwa langkah itu akan menjadi awal dari kisah cinta yang mengubah sejarah manusia.


Dari perjalanan dagang itu, ia mendengar kabar tentang kejujuran Muhammad, tentang bagaimana ia tidak menipu, tidak mengambil lebih dari yang seharusnya, dan memperlakukan semua orang dengan hormat. Hati Khadijah bergetar, bukan karena pandangan duniawi, tapi karena ia menemukan keindahan dalam integritas. Ia pun memberanikan diri melamar lelaki itu melalui perantara — dengan hati yang yakin bahwa cinta suci tidak perlu ditunggu, tapi dijemput.


Pernikahan mereka sederhana. Tidak ada pesta besar, tidak ada kemewahan, hanya dua jiwa yang dipersatukan oleh cinta yang tulus. Rasulullah yang saat itu berusia 25 tahun, dan Khadijah yang berusia 40 tahun, membangun rumah tangga dengan keheningan yang penuh kasih. Dari Khadijah, Nabi mendapatkan kenyamanan yang tiada banding: rumah yang damai, hati yang tenang, dan pelukan yang menghapus lelah dunia.


Ketika wahyu pertama turun di gua Hira, Rasulullah pulang dengan tubuh menggigil ketakutan. Ia memeluk istrinya dan berkata, “Selimuti aku, selimuti aku.” Khadijah tidak panik. Ia menenangkan suaminya, membisikkan kalimat yang kelak menjadi tonggak iman pertama di muka bumi:

Tidak, demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu. Engkau menyambung silaturahmi, menolong yang lemah, berkata benar, dan menunaikan amanah.”

 

Kata-kata itu seperti pelukan bagi jiwa yang ketakutan. Dalam sekejap, Khadijah menjadi bukan hanya istri, tapi tempat pulang bagi Nabi yang baru saja memikul beban kenabian. Ia menjadi saksi pertama, pendengar pertama, dan mukmin pertama. Dalam setiap keheningan malam, ketika dunia menolak, Khadijah tetap percaya.


Ia menjual hartanya untuk mendukung dakwah. Ia menanggung hinaan dari kaum Quraisy yang menuduh suaminya gila. Ia menolak kenyamanan dunia demi cahaya yang diyakininya datang dari langit. Dan meski tubuhnya mulai lemah, semangatnya tetap menyala. Di setiap ujian, Khadijah berdiri tanpa keluh, dengan cinta yang diam tapi kuat.


Kehidupan rumah tangga mereka bukan tanpa kesedihan. Mereka kehilangan anak-anak kecilnya, hanya beberapa yang hidup hingga dewasa. Namun, setiap kali duka datang, Khadijah tak pernah menyalahkan takdir. Ia memeluk suaminya dengan lembut dan berkata bahwa semua yang hilang akan dikembalikan oleh Allah dengan cara yang indah.


Dan ketika Islam mulai tumbuh di bawah tekanan, mereka berdua merasakan lapar, kesepian, dan pengasingan. Tapi Khadijah tak pernah berpaling. Dalam keheningan malam yang panjang, ia tetap mendekap iman dengan penuh kasih. Hingga pada suatu hari, tubuhnya yang renta tak lagi mampu menahan derita, dan ia pun berpulang dengan senyum yang damai.


Rasulullah ﷺ menangis. Dunia seakan berhenti sejenak. Rumah yang biasanya dipenuhi kehangatan, kini hening. Tak ada lagi suara lembut Khadijah yang menyambut beliau setiap pulang berdakwah. Tahun itu disebut oleh Rasulullah sebagai ‘Ām al-Huzn — Tahun Kesedihan. Sebab kehilangan Khadijah bukan sekadar kehilangan istri, tapi kehilangan bagian dari jiwanya sendiri.


Sejak saat itu, setiap kali Rasulullah mengingatnya, matanya basah. Ia sering menyembelih kambing, lalu mengirimkan dagingnya kepada sahabat-sahabat lama Khadijah. Aisyah, dengan rasa ingin tahu yang manis bercampur cemburu, bertanya, “Mengapa engkau selalu mengingatnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab lembut,

Ia beriman kepadaku ketika orang lain mendustakanku. Ia mempercayaiku ketika yang lain menuduhku. Ia memberikan hartanya ketika yang lain menahan. Dan darinyalah aku memperoleh anak.

 

Setiap kali nama Khadijah disebut, wajah Rasulullah berubah teduh. Ia mengenangnya bukan dengan air mata, tapi dengan cinta yang matang. Sebab cinta sejati tidak mati ketika jasad terkubur — ia hanya berpindah tempat, dari dunia ke kenangan, dari pelukan ke doa.


Khadijah telah tiada, tapi kehadirannya tak pernah benar-benar pergi. Ia hidup dalam setiap kebaikan yang dilakukan oleh Rasulullah, dalam setiap doa yang disampaikan dengan lembut, dalam setiap perjuangan yang mengingatkan kita bahwa cinta dan iman tak pernah bisa dipisahkan.


Ia adalah perempuan yang memberi tanpa meminta, mencintai tanpa menuntut, berkorban tanpa mengeluh. Dunia mengenalnya sebagai istri Nabi, tapi di mata langit, ia adalah cahaya pertama yang menyambut wahyu. Dan bagi Rasulullah, ia tetap menjadi cinta yang abadi — bahkan setelah waktu berhenti.


Di hadapan cinta seperti itu, kita belajar bahwa kebesaran bukan diukur dari kekuasaan, tapi dari ketulusan. Khadijah mengajarkan bahwa cinta sejati tidak perlu diumumkan, cukup dijalani dengan hati yang teguh dan niat yang bersih. Ia membuktikan bahwa kasih yang ikhlas mampu menegakkan risalah langit.


Dan mungkin, dalam sunyi malam Madinah, Rasulullah masih mengingat senyum Khadijah — senyum yang pernah menghapus ketakutan pertama beliau. Senyum yang tak akan pernah hilang dari ingatan, karena cinta seperti itu tak bisa mati, hanya berpindah dari dunia ke surga.


Di setiap langkah dakwah, di setiap ayat yang turun, seolah ada bayangan Khadijah yang meneguhkan. Ia tidak hadir lagi secara fisik, tapi kehadirannya menjelma menjadi kekuatan spiritual. Dialah perempuan yang cintanya bukan sekadar milik manusia, tapi bagian dari sejarah wahyu.


Dan sampai akhir hayat Rasulullah ﷺ, nama itu masih beliau sebut — Khadijah. Nama yang sederhana, tapi di dalamnya tersimpan seluruh makna tentang cinta, pengorbanan, dan keteguhan iman. Dunia boleh berubah, tapi kisah mereka tetap abadi: kisah dua jiwa yang disatukan bukan oleh waktu, melainkan oleh takdir (***) 

×
Berita Terbaru Update