![]() |
| Ilustrasi |
Hafshah binti Umar adalah sosok perempuan yang lahir dari rahim keberanian. Ia tumbuh di rumah Umar bin Khattab, lelaki yang kelak mengguncang sejarah dengan kejujurannya yang tak bisa dibeli dan ketegasannya yang tak pernah goyah. Dari ayahnya itulah, Hafshah mewarisi keberanian, ketegasan, dan hati yang keras dalam memegang kebenaran. Namun di balik watak yang kuat itu, Allah menanamkan hati yang lembut — hati yang kelak harus belajar menanggung kehilangan dan kesepian.
Ia tumbuh di Makkah, di tengah gelombang awal Islam yang penuh tekanan. Sejak muda, Hafshah sudah mengenal arti perjuangan dan penderitaan. Ia menikah dengan Khunais bin Hudhafah, seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang beriman di masa awal dan berhijrah bersama ke Madinah. Dalam diri Khunais, Hafshah menemukan ketenangan dan kasih sayang yang lembut — sesuatu yang mungkin jarang ia rasakan dari kerasnya dunia di sekitarnya.
Namun kebahagiaan itu singkat. Khunais gugur di medan Uhud, meninggalkan Hafshah sendirian dengan hati yang retak dan rumah yang sepi. Dalam diam, ia belajar menerima takdir yang begitu cepat memisahkan cinta yang baru tumbuh. Di malam-malam Madinah yang sunyi, Hafshah sering menatap langit, mencari arti dari kehilangan yang tak bisa ia pahami.
Ayahnya, Umar bin Khattab, tak tega melihat putrinya larut dalam kesedihan. Dalam kasih seorang ayah, ia mencoba mencarikan sandaran baru bagi Hafshah. Ia mendatangi Utsman bin Affan, lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq, menawarkan Hafshah dengan harapan mereka akan menjaganya. Namun keduanya menolak dengan alasan yang tak dijelaskan. Umar kembali pulang dengan dada sesak dan mata yang berat menahan kecewa.
Lalu, tak lama kemudian, datanglah kabar yang mengubah segalanya. Rasulullah ﷺ sendiri meminang Hafshah. Hati Umar meluap dengan syukur dan haru. Bagi Hafshah, itu bukan sekadar kehormatan, tapi juga penyembuh luka yang dalam. Ia menikah bukan karena dunia, tapi karena Allah menulis takdir baru yang penuh cahaya untuknya.
Dalam rumah tangga Nabi, Hafshah hidup di antara istri-istri yang lain, yang masing-masing membawa warna dan kisahnya sendiri. Ia dikenal cerdas, tegas, dan gemar belajar. Ia menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dengan hati yang hidup, memahami sabda Nabi dengan kedalaman yang tak banyak dimiliki perempuan pada masanya. Ia berpuasa, ia shalat malam, dan ia mencintai ilmu sebagaimana ia mencintai Tuhannya.
Namun ketegasan dan kejujuran yang ia warisi dari ayahnya sering pula menimbulkan riak kecil dalam rumah tangga. Ada kalanya kata yang jujur berubah menjadi tajam, dan sikap tegas terasa keras. Suatu hari, terjadi perselisihan kecil antara dirinya dan Rasulullah. Sebagai manusia biasa, Hafshah tersulut oleh rasa cemburu yang tak bisa ia sembunyikan. Rasulullah pun menjauh darinya selama sebulan.
Hari-hari itu menjadi hari paling panjang dalam hidup Hafshah. Ia hidup di rumah yang sunyi, menatap pintu yang tak lagi diketuk. Dalam tangis dan penyesalan, ia sujud lama di malam hari, meminta ampun atas sikapnya yang membuat Rasulullah bersedih. Tapi Allah Maha Pengasih. Wahyu turun menenangkan Nabi, dan keduanya kembali berdamai. Dari peristiwa itu, Hafshah belajar: cinta sejati tak hanya tentang rasa, tapi tentang kesabaran untuk menjaga yang dicintai.
Setelah itu, Hafshah semakin dalam dalam ibadahnya. Ia berpuasa hampir setiap hari, berdiri lama dalam shalat malam, dan menjadikan doa sebagai pelabuhan hatinya. Ia tak lagi mudah tersulut oleh hal-hal kecil. Ia tahu, bersama Rasulullah bukanlah tentang memiliki, tapi tentang berkhidmat kepada sesuatu yang lebih besar dari cinta itu sendiri: dakwah dan wahyu.
Kemudian datanglah hari yang paling berat dalam sejarah hidupnya. Rasulullah wafat. Dunia seolah kehilangan cahaya. Di rumah Hafshah, dinding-dinding yang dulu mendengar suara Nabi membaca wahyu kini hanya menyimpan gema tangisan yang tak pernah selesai. Ia tak lagi mendengar langkah kaki yang lembut, tak lagi melihat senyum yang menenangkan hati.
Namun Allah menulis amanah baru untuknya. Mushaf Al-Qur’an yang dikumpulkan oleh Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit diserahkan ke tangan Hafshah untuk dijaga. Ia menerima amanah itu dengan air mata dan keteguhan. Lembaran-lembaran wahyu itu ia simpan di rumahnya sendiri, di tempat yang pernah dipenuhi suara Rasulullah membacakan ayat-ayat Allah. Setiap malam, ia membuka lembaran itu dengan tangan yang gemetar, merasakan seolah Nabi masih di sana — membaca, mengajarkan, dan menenangkan.
Bertahun-tahun kemudian, ketika masa Khalifah Utsman tiba dan umat Islam meluas ke berbagai wilayah, mushaf yang disimpan Hafshah menjadi rujukan utama untuk penyatuan bacaan Al-Qur’an. Dari rumah sederhana seorang perempuan beriman, lahir satu teks suci yang kini dibaca miliaran umat di seluruh dunia. Tak banyak orang tahu, bahwa di balik lembaran mushaf itu, ada air mata dan kesetiaan Hafshah yang tak pernah goyah.
Hari-harinya setelah itu berjalan dalam kesunyian. Ia tidak menikah lagi. Ia memilih hidup dalam ibadah dan kenangan. Ia berbicara dengan Allah melalui ayat-ayat yang ia jaga, dan setiap kali ia membaca surah yang pernah diajarkan langsung oleh Rasulullah, hatinya serasa diselimuti oleh rindu yang tak pernah padam.
Di setiap malam, mungkin ia duduk sendirian di sudut rumahnya, menatap mushaf yang lembut terlipat di atas meja. Ia mengusapnya dengan tangan yang mulai menua, seolah membelai wajah Rasulullah yang dulu membacakannya. Tidak ada yang tahu berapa banyak air mata yang menetes di atas mushaf itu — air mata cinta, kehilangan, dan iman yang tak tergoyahkan.
Hafshah hidup dalam dua dunia: dunia manusia yang mengenal kehilangan, dan dunia suci yang mengenal amanah. Ia tidak pernah berhenti menjadi murid kehidupan — belajar dari cinta yang diuji, dari kesetiaan yang tak mendapat balasan dunia, dan dari tanggung jawab yang hanya dimengerti oleh hati yang tulus.
Ketika ajal menjemputnya di masa pemerintahan Mu’awiyah, Madinah kembali berduka. Tak banyak keramaian, tak banyak tangis yang terdengar. Tapi langit pasti menyambutnya dengan damai, karena Hafshah telah menunaikan tugas suci yang Allah titipkan padanya.
Ia dimakamkan di Baqi’, di antara para Ummul Mukminin — perempuan-perempuan mulia yang pernah menjadi cahaya dalam hidup Rasulullah. Di sana, ia beristirahat dalam tenang, bersama cinta yang dulu ia jaga dalam diam.
Hafshah binti Umar bukan hanya istri seorang Nabi. Ia adalah penjaga firman Allah, pelindung wahyu yang abadi, dan perempuan yang hatinya telah diuji oleh cinta dan kesepian. Dalam dirinya, ada keberanian seorang mujahid, ada kelembutan seorang istri, dan ada kesunyian seorang wali.
Ia hidup dengan iman, mencintai dengan kesetiaan, dan wafat dengan membawa satu hal yang tak pernah padam: rindu kepada Rasulullah ﷺ dan kepada Kalamullah yang dulu ia jaga dengan sepenuh jiwa (***)


