![]() |
| Jabal Uhud |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Rasulullah ﷺ pernah menapakkan kaki beliau di lereng Jabal Uhud. Saat itu, gunung itu bergetar — bukan karena gempa, tapi karena bahagia. Ia tahu, di atas tubuhnya berdiri manusia paling mulia yang pernah diciptakan Tuhan. Rasulullah ﷺ lalu menenangkan gunung itu, menepuknya dengan kasih, dan bersabda agar ia tenang. Sejak itu, Uhud dikenal bukan hanya sebagai gunung, melainkan sahabat. Sahabat yang diam tapi mengerti, sahabat yang teguh tapi punya rasa.
Kini, berabad-abad berlalu, Rasulullah ﷺ tak lagi berjalan di bumi. Madinah tetap bercahaya, tapi ada sepi yang tidak bisa dijelaskan di kaki Uhud. Ia masih berdiri kokoh, tapi hatinya — jika saja kita peka — retak oleh rindu yang tak pernah sembuh. Angin yang melewati lembahnya membawa suara sayup-sayup salam, tapi tidak lagi ada langkah kaki yang dulu membuatnya bergetar bahagia. Ia diam, tapi setiap batu di tubuhnya seperti mengucap zikir rindu: “Ya Rasulullah, kapan lagi engkau menatapku?”
Uhud pernah menjadi saksi cinta yang paling tulus: cinta antara makhluk dan Rasulnya. Ia menyaksikan darah para syuhada, mendengar lantunan doa Nabi, merasakan getar iman yang membuncah di setiap hentakan langkah. Kini semua itu tinggal kenangan yang tersimpan dalam debu dan bebatuan. Tapi cinta, sebagaimana yang diajarkan Nabi, tak pernah mati. Ia hanya berganti bentuk — dari getar menjadi diam, dari air mata menjadi doa, dari kehadiran menjadi kenangan yang abadi.
Kalau saja manusia bisa merasakan seperti yang dirasakan Uhud, mungkin kita akan lebih paham arti kehilangan. Kita kehilangan Nabi, tapi sering lupa untuk merindukannya. Sementara Uhud, makhluk tanpa lidah, merindukan beliau dengan segenap keberadaannya. Ia tidak menulis syair, tidak melantunkan shalawat, tapi setiap pagi, bayangannya yang terhampar di tanah Madinah adalah bentuk doa yang tak putus: doa agar umat beliau tetap mencintai seperti Nabi mencintai.
Rindu yang disimpan terlalu lama memang bisa menjadi retak. Tapi retak itu bukan tanda kehancuran, melainkan tempat masuknya cahaya. Mungkin begitu juga dengan Uhud. Ia tak lagi bergetar karena Nabi sudah tiada, tapi di dalam diamnya, ia memantulkan cahaya cinta yang pernah singgah di puncaknya. Dan cahaya itu, entah bagaimana, masih terasa setiap kali seseorang berdiri di bawahnya sambil mengucap salam kepada Rasulullah ﷺ.
Uhud mengajarkan bahwa cinta sejati tidak berhenti ketika berpisah. Ia menjelma menjadi kesetiaan yang menjaga, menjadi doa yang tidak pernah padam. Barangkali, di setiap senja yang turun di Madinah, ada rindu yang kembali hidup di tubuh Uhud — rindu yang tidak membutuhkan kata, tidak menunggu balasan, cukup menjadi bagian dari ibadah yang sunyi. Dan mungkin, di saat kita ikut merindukan Rasulullah, gunung itu pun tersenyum lagi, meski hanya sedikit, di antara retak yang tak pernah hilang (***)


