![]() |
| Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Orang suka menganggap politik dinasti itu monster yang menakutkan. Katanya, ia menggerogoti demokrasi dari dalam, membuat rakyat tak punya pilihan, hanya diwariskan kepada anak-cucu penguasa. Tapi kalau kita tengok sejarah, sejak zaman kerajaan sampai republik, manusia memang punya naluri untuk mempertahankan warisan. Bedanya dulu diwariskan singgasana, sekarang diwariskan kursi kekuasaan. Jadi sebenarnya, ini penyakit lama yang hanya berganti kostum.
Namun mari kita jujur, apakah demokrasi kita sendiri memang sudah sehat sebelum dinasti muncul? Demokrasi yang katanya “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” sering hanya berhenti di spanduk dan baliho. Rakyat dikasih hak memilih, tapi yang tersedia hanya pilihan-pilihan yang sudah diatur oleh kekuatan modal dan jaringan politik. Jadi, ketika anak pejabat ikut nyalon, rakyat seolah marah. Padahal kadang marahnya bukan karena dinastinya, tapi karena merasa sudah tidak punya ruang ikut menentukan sejak awal.
Kalau dipikir-pikir, politik dinasti itu mirip warung bakso keluarga. Ketika bapaknya sukses bikin bakso enak, anaknya buka cabang di seberang jalan. Orang bisa tetap beli kalau cocok rasanya. Bedanya, di politik, sering kali rakyat tidak diberi pilihan warung lain, atau pilihan warungnya sudah dipersempit. Jadi yang bahaya bukan anak pejabat maju, melainkan ketika ruang kompetisi dikunci, dan yang boleh buka “warung kekuasaan” hanya orang-orang dalam lingkaran tertentu.
Di sisi lain, jangan lupa bahwa rakyat pun punya kuasa, asal tidak disabotase oleh uang dan manipulasi. Kalau anak pejabat memang tidak layak, mestinya suara rakyat bisa menolaknya. Tapi kalau tetap menang, jangan-jangan bukan dinastinya yang jadi masalah, melainkan kita sendiri yang gampang digoda amplop, kaos, dan janji-janji manis. Demokrasi bisa rapuh bukan karena politik dinasti semata, melainkan karena rakyatnya pun belum cukup tegas menjaga martabatnya.
Jadi, politik dinasti bisa jadi ancaman, bisa juga sekadar fenomena biasa. Semua kembali pada seberapa kuat rakyat menjaga akal sehat dan keberanian menolak manipulasi. Kalau rakyat masih gampang diperdaya, mau dinasti atau bukan, demokrasi akan tetap rapuh. Demokrasi bukan soal siapa anak siapa, tapi soal apakah rakyat masih punya hak menentukan, atau hanya jadi penonton di panggung sandiwara politik (***)



