
Ilustrasi
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Kita sering bicara soal demokrasi seolah-olah ia sudah sempurna hadir di tengah kita. Padahal, demokrasi itu ibarat rumah yang belum rampung dibangun—tiangnya sudah berdiri, atapnya sudah dipasang, tapi di dalamnya banyak sudut yang bocor. Salah satu kebocoran terbesar itu bernama oligarki politik. Ia tidak berteriak, tidak memakai baju seragam, bahkan kadang tampil ramah dengan senyum dan janji manis. Tetapi pelan-pelan, ia menggerogoti fondasi demokrasi kita.
Oligarki politik bekerja seperti bayangan. Ia tidak selalu terlihat, tapi selalu mengikuti ke mana kekuasaan melangkah. Di balik kursi parlemen, di balik panggung kampanye, ada tangan-tangan yang tak pernah ikut pemilu, tapi justru ikut menentukan siapa yang boleh naik, siapa yang harus turun. Demokrasi yang katanya milik rakyat, lama-lama seperti jadi milik segelintir orang yang punya uang dan kuasa.
Kalau demokrasi adalah pesta rakyat, maka oligarki itu ibarat orang kaya yang datang membawa sound system, panggung, bahkan makanan, lalu bilang, “Kalian boleh menari, tapi lagunya saya yang pilih.” Kita masih boleh bersorak, masih boleh ikut joget, tapi alurnya tetap mereka yang atur. Pada akhirnya, rakyat hanya jadi penonton di pesta yang harusnya mereka sendiri yang punya.
Yang lebih berbahaya, oligarki ini pandai menyamar jadi “penyelamat bangsa.” Ia bisa meminjam wajah rakyat kecil, bisa bicara soal keadilan, bisa pura-pura sederhana. Padahal di belakang layar, ia sibuk membagi kue kekuasaan. Itulah sebabnya, demokrasi kita sering terasa penuh drama—rakyat diberi harapan, lalu dipangkas pelan-pelan oleh kepentingan segelintir elit.
Namun, meski oligarki begitu licin, rakyat bukanlah sekumpulan penonton pasif. Selama nurani masih hidup, selama obrolan warung kopi masih menyimpan kejujuran, selama doa ibu-ibu di tengah malam masih tulus untuk anak cucunya, selalu ada jalan untuk melawan dominasi oligarki ini. Demokrasi tidak boleh menyerah, sebab ia bukan sekadar sistem, tapi janji kepada rakyat bahwa suara mereka sungguh berharga (***)

