-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Menteri, Wamen, dan Godaan Kursi Komisaris

Kamis, 16 Oktober 2025 | 11.25 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-16T04:36:54Z
Ilustrasi 

Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan 
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos 

Ada satu penyakit lama yang terus kambuh di negeri ini: keinginan untuk duduk di banyak kursi. Seolah satu jabatan belum cukup menegaskan kehormatan seseorang, maka harus ditambah dengan kursi lain — di perusahaan negara, di dewan komisaris, di tempat-tempat yang memberi rasa kuasa dan, tentu saja, aroma kuasa. Padahal, bangsa ini sedang butuh pejabat yang mau berdiri, bukan sibuk menambah kursi untuk duduk.


Putusan Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu terasa seperti tamparan yang pelan tapi jelas bunyinya. Negara akhirnya berkata: sudah cukup. Menteri dan wakil menteri tak boleh lagi rangkap jabatan di BUMN. Dua tahun diberikan sebagai waktu untuk menurunkan ego dan menata diri. Dua tahun untuk belajar arti kata “cukup” dalam dunia kekuasaan yang tak pernah kenyang.


Saya sering berpikir, barangkali kita ini terlalu lama hidup dalam logika jabatan ganda. Orang yang pintar ingin duduk di banyak tempat. Orang yang dipercaya ingin diakui di segala ruang. Tapi yang jarang disadari, setiap tambahan kursi seringkali mengurangi waktu untuk menunduk, mendengar, dan bekerja sungguh-sungguh. Kursi yang banyak tidak selalu berarti pengabdian yang luas; kadang justru menjadi tanda betapa sempitnya hati yang tak mau berbagi ruang.


Mungkin keputusan ini akan menimbulkan gelisah di ruang-ruang kekuasaan. Tapi bukankah gelisah itu juga bagian dari penyembuhan? Negeri ini perlu dibersihkan bukan hanya dari korupsi uang, tapi juga dari korupsi niat. Tidak semua yang boleh, pantas dilakukan. Tidak semua yang bisa, harus dijalankan. Kadang, langkah mundur justru adalah bentuk tertinggi dari kemajuan.


BUMN bukan tempat untuk menambah kuasa, tapi untuk memperkuat kesejahteraan rakyat. Kalau pejabat publik masih ingin duduk di sana, seharusnya ia duduk di bangku rakyat, mendengar keluh kesah para pekerja, para nelayan, para petani yang menunggu hasil bumi mereka dihargai lebih baik. Dari sanalah “komisaris sejati” seharusnya belajar: mengawasi hati sendiri sebelum mengawasi perusahaan.


Dua tahun mungkin terasa sebentar bagi yang sudah terbiasa dengan banyak jabatan, tapi cukup panjang bagi bangsa yang ingin sembuh. Semoga pada akhirnya, para menteri dan wakil menteri itu menemukan kenyamanan bukan pada jumlah kursi yang mereka duduki, melainkan pada tenangnya hati saat bisa melayani tanpa pamrih. Karena kekuasaan sejati, kata orang tua dulu, adalah saat seseorang mampu menolak kekuasaan itu sendiri (***) 

×
Berita Terbaru Update