![]() |
Gedung Mahkamah Konstitusi |
Putusan itu dibacakan langsung oleh Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang pleno di Jakarta, Kamis (16/10). Dalam amar putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang diajukan oleh aktivis Agus Setiawan dan advokat Sulaiman.
MK menilai, aturan yang mewajibkan izin Jaksa Agung untuk menangkap atau menahan jaksa tanpa pengecualian telah menimbulkan ketimpangan hukum. Karena itu, Mahkamah memberikan tafsir baru atas Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan.
Kini, pasal tersebut memiliki pengecualian penting: penangkapan terhadap jaksa tidak perlu izin Jaksa Agung jika mereka tertangkap tangan melakukan tindak pidana, atau disangka melakukan kejahatan berat seperti yang diancam hukuman mati, kejahatan terhadap keamanan negara, dan tindak pidana khusus.
Dalam pembacaan pertimbangan hukum, Hakim Konstitusi Arsul Sani menegaskan, perlindungan bagi aparat penegak hukum memang penting, tetapi jangan sampai mencederai asas equality before the law — kesetaraan di depan hukum.
“Semua orang sama di hadapan hukum. Pengecualian boleh saja, tapi harus wajar dan terukur. Kalau tidak, itu justru menghambat keadilan,” tegas Arsul.
Dengan putusan ini, Mahkamah menilai tidak ada alasan untuk mempertahankan pasal lama yang memberi kekuasaan berlebihan pada Jaksa Agung. “Tidak ada pilihan lain bagi Mahkamah selain menyatakan pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat,” lanjutnya.
Selain soal OTT, MK juga mencabut kewenangan Jaksa Agung yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) huruf e UU Kejaksaan. Pasal tersebut sebelumnya memberi ruang bagi Jaksa Agung untuk memberikan “pertimbangan teknis hukum” kepada Mahkamah Agung (MA) dalam proses kasasi.
Menurut MK, pasal itu bisa membuka celah intervensi terhadap putusan MA. Karena tidak ada batasan jelas soal “pertimbangan teknis” seperti apa yang dimaksud, MK akhirnya menyatakan pasal tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.
Putusan ini disambut beragam tanggapan dari kalangan hukum dan masyarakat. Sebagian menilai langkah MK ini sebagai “angin segar” untuk memperkuat independensi lembaga penegak hukum. Namun, ada juga yang menekankan pentingnya mekanisme pengawasan internal agar jaksa tidak mudah diseret oleh kepentingan politik lewat OTT.
Apa pun pandangannya, keputusan MK hari ini menunjukkan satu hal yang pasti: hukum tidak boleh berhenti di meja pejabat tinggi. Ia harus tetap berjalan, meski menyentuh mereka yang biasanya berdiri di balik toga penegak keadilan (***)