![]() |
Jendela Hafshah |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Di sebuah sudut tenang di Madinatur Rasulullah, ada sebuah jendela tua yang masih terjaga hingga kini. Jendela itu bukan sekadar bukaan tembok, melainkan saksi bisu dari kisah cinta yang abadi. Di balik jendela itu dahulu duduk seorang perempuan mulia, Hafshah binti Umar bin Khattab—putri dari sang Amirul Mukminin dan istri dari manusia paling mulia, Rasulullah ﷺ. Dari sanalah ia menatap ke arah pusara suaminya, menumpahkan rindu yang tak pernah padam meski sang kekasih telah kembali ke sisi Allah.
Setiap pagi, Hafshah duduk di tepi jendela itu dengan wajah teduh. Angin Madinah menyapa lembut wajahnya, membawa harum tanah yang sama pernah diinjak Rasulullah. Ia tidak menatap dengan air mata, tetapi dengan doa. Di balik tatapan itu tersimpan cinta yang begitu dalam—cinta yang tak menuntut, tak berakhir, dan tak mengenal jarak. Baginya, Rasulullah tidak pernah benar-benar pergi. Beliau hanya berpindah tempat, dari dunia fana menuju taman abadi yang penuh cahaya.
Orang-orang Madinah kerap melihat Hafshah berlama-lama di sana. Kadang ia membaca ayat-ayat Al-Qur’an dengan suara pelan, kadang hanya diam sambil memejamkan mata. Namun siapa pun yang melihatnya tahu, jendela itu adalah perantara hatinya—jalan kecil menuju kenangan bersama Nabi yang takkan lekang oleh waktu. Ia menjaga jendela itu seperti menjaga hatinya sendiri: bersih, suci, dan selalu terbuka untuk cinta yang suci karena Allah.
Bertahun-tahun berlalu, dan dunia pun berubah. Banyak bangunan tumbuh di sekitar Masjid Nabawi, tetapi jendela Hafshah tetap ada. Para peziarah dari berbagai negeri datang, menatapnya dengan penuh takzim. Mereka tahu, di sanalah pernah bersemayam rindu seorang perempuan salehah yang mencintai Rasulullah bukan karena dunia, melainkan karena cahaya iman. Jendela itu menjadi lambang keabadian cinta dalam ketaatan.
Kini, siapa pun yang berjalan di pelataran Masjid Nabawi mungkin akan melewati jendela itu tanpa sadar. Namun bagi mereka yang tahu kisahnya, jendela itu bukan sekadar peninggalan sejarah, melainkan pelajaran besar: bahwa cinta sejati tak berakhir di liang lahat, tak pupus oleh waktu, dan tak luntur oleh jarak. Cinta sejati selalu menemukan caranya untuk hidup—dalam doa, dalam kenangan, dan dalam keteguhan hati.
Demikianlah kisah Hafshah binti Umar bin Khattab dan jendelanya yang abadi. Jendela itu menjadi saksi bahwa cinta karena Allah tak pernah mengenal kematian. Selama Masjid Nabawi berdiri dan umat Islam masih menyebut nama Rasulullah ﷺ dalam shalawat dan doa, selama itu pula cinta Hafshah akan terus hidup—menyapa dunia dari sebuah jendela kecil di kota suci Madinah (***)
Ditulis di kamar 425 Hotel Hayah Plaza Kota Madinah