![]() |
Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Di negeri yang katanya menjunjung demokrasi, hukum seharusnya menjadi kompas yang menjaga arah perjalanan bangsa. Tapi, entah kenapa, akhir-akhir ini kompas itu seperti kehilangan magnetnya. Jarumnya berputar-putar tanpa henti, bingung mau menunjuk ke utara atau ke selatan. Akhirnya kita yang rakyat ini ikut bingung: sebenarnya hukum itu untuk siapa, untuk apa, dan di mana kita bisa menaruh harapan?
Kalau dipikir-pikir, hukum di negeri kita ini kadang mirip pertunjukan wayang. Ada dalang, ada tokoh baik, ada tokoh jahat, tapi siapa yang menang sudah bisa ditebak sejak awal. Penonton hanya bisa ikut tertawa getir, sebab cerita itu berulang-ulang diputar, dengan aktor yang kadang berganti wajah tapi tetap dengan skenario lama: hukum jadi alat kuasa, bukan alat rakyat.
Di kampung-kampung, kita masih percaya bahwa hukum adalah soal keadilan. Kalau ada orang mencuri ayam, dia pasti diadili. Tapi di pusat kota, kalau ada orang mencuri uang rakyat miliaran, urusannya bisa panjang, penuh liku, bahkan kadang selesai di meja makan dengan secangkir kopi. Hukum seolah punya dua wajah: satu untuk orang kecil, satu lagi untuk orang besar.
Namun jangan buru-buru kita marah. Barangkali ini memang pelajaran hidup: hukum, demokrasi, politik—semuanya hanyalah baju yang kita kenakan. Kalau orang yang memakainya tak mau merawat hatinya, maka baju itu hanya jadi hiasan luar. Demokrasi bisa jadi panggung dagelan, hukum bisa jadi komoditas, politik bisa jadi pasar malam (***)