![]() |
Pandangan Redaksi Banyuasin Pos |
Pemecatan Kompol Cosmas Kaju Gae dari kepolisian menjadi babak baru dalam kasus tragis yang menimpa Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang meninggal setelah terlindas kendaraan taktis Brimob. Keputusan Komisi Kode Etik Polri yang menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat bukan sekadar hukuman administratif, melainkan sinyal bahwa Polri tidak bisa lagi mentolerir kesalahan fatal yang mencederai rasa keadilan masyarakat.
Namun, mari jujur: bagi keluarga Affan, pemecatan ini belum tentu membawa kelegaan. Kehilangan seorang anak bagi kedua orangtuanya tak bisa dipulihkan dengan keputusan sidang etik. Yang mereka butuhkan adalah kepastian bahwa nyawa Affan tidak sia-sia, dan bahwa hukum benar-benar berjalan tanpa pandang bulu.
Kasus ini sekaligus menjadi cermin bagi Polri. Di satu sisi, publik bisa melihat adanya upaya untuk membuka diri dengan melibatkan Komnas HAM dan Kompolnas dalam gelar perkara. Tapi di sisi lain, ada pertanyaan besar yang masih menggantung: apakah proses hukum pidana terhadap para pelaku akan dituntaskan dengan serius, ataukah berhenti hanya di lingkaran etik?
Masyarakat menaruh harapan besar pada Polri untuk membuktikan bahwa seragam bukanlah tameng, melainkan simbol pengabdian. Jika prinsip itu benar-benar dipegang, maka kepercayaan publik yang sempat runtuh bisa perlahan dipulihkan. Sebaliknya, jika kasus Affan berhenti di tengah jalan, luka sosial yang ditinggalkan akan semakin dalam.
Redaksi percaya, keadilan untuk Affan harus dijaga sampai akhir. Pemecatan Kompol Cosmas hanyalah awal. Publik masih menunggu, apakah langkah berikutnya akan benar-benar menegakkan hukum, atau justru kembali menguji kesabaran masyarakat (***)