![]() |
Juedeh Rangi |
Di Banyuasin, setiap hajatan, ia bukan hanya ruang untuk pertemuan keluarga dan tetangga, melainkan juga ruang bagi tradisi untuk hidup kembali. Di Desa Regan Agung, Kecamatan Banyuasin III, suasana seperti itu begitu terasa. Riuh tamu datang silih berganti, anak-anak berlarian di halaman rumah panggung, sementara dari dapur tercium wangi kelapa sangrai yang berpadu dengan harum masakan gulai. Di meja panjang, berjejer rapi toples-toples kaca berisi aneka kue tradisional. Di antara sekian banyak pilihan, ada satu yang paling sering dicicipi tamu: Kue Rangi, atau Juedeh Rangi.
Kue berbentuk sederhana itu ditata manis dalam toples besar, sebagian lagi diletakkan di piring saji untuk para tamu yang duduk lesehan di ruang tengah. Dari tampilan luarnya, Kue Rangi mungkin tak seindah bolu engkak atau bolu lapan jam yang berlapis-lapis. Namun begitu digigit, rasa gurih kelapa sangrai langsung menyatu dengan manisnya gula pasir, meninggalkan jejak hangat di lidah. Tidak heran, setiap kali toples dibuka, tangan-tangan tamu silih berganti mengambil sepotong demi sepotong, seakan Kue Rangi menyimpan daya tarik tersendiri.
![]() |
Juedeh Rangi |
Bahan kue ini sederhana: tepung beras, kelapa sangrai, dan gula pasir. Tapi justru dari kesederhanaan itulah lahir makna. Tepung beras melambangkan kelimpahan padi yang menjadi napas kehidupan desa. Kelapa sangrai, dengan aromanya yang khas, merepresentasikan hasil bumi Banyuasin yang melimpah. Sementara gula pasir menyiratkan manisnya hidup dalam kebersamaan. Saat disajikan di tengah hajatan, simbol-simbol itu seakan melebur, mengikat setiap orang dalam rasa syukur bersama.
Proses pembuatannya pun mengandung pesan. Adonan dicetak lalu dipanggang perlahan hingga berubah warna menjadi kecokelatan. Panas yang ditempuh adonan sebelum matang dianggap sebagai perlambang kehidupan: bahwa setiap manusia harus melalui proses, cobaan, dan waktu, sebelum mencapai kedewasaan. Maka, sepotong Kue Rangi bukan hanya suguhan di meja, melainkan juga pengingat akan perjalanan hidup.
Di Desa Regan Agung, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin, tradisi menata kue dalam toples kaca adalah bagian dari kebanggaan terhadap warisan kuliner tradisionalnya. Setiap rumah yang menggelar hajatan berlomba menampilkan suguhan terbaik, dan Kue Rangi selalu mendapat tempat istimewa. Seorang ibu paruh baya tersenyum sambil menutup kembali toples yang hampir kosong, lalu berbisik, "Kue Rangi ini cepat sekali habis, tamu biasanya lebih suka yang gurih manis seperti ini. Rasanya sederhana, tapi bikin kangen.”
Dan benar adanya. Dalam setiap potong Kue Rangi yang diambil dari toples hajatan itu, terselip bukan hanya rasa manis gurih, melainkan juga kisah syukur, kebersamaan, dan kearifan lokal masyarakat Banyuasin. Ia bukan sekadar kudapan, melainkan warisan hidup yang terus dijaga dengan penuh cinta (***)