![]() |
Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Ada satu hal yang sering membuat kita geleng-geleng kepala, yaitu bagaimana politik bisa begitu lihai mengubah wajah manusia. Orang yang dulu kita kenal sederhana, rendah hati, dan penuh senyum, tiba-tiba bisa menjadi galak, keras kepala, bahkan tega menutup mata terhadap penderitaan orang lain. Rupanya, ketika politik sudah bercampur dengan ambisi, nurani pun bisa tersingkirkan.
Politik sejatinya adalah ruang pengabdian, tempat orang-orang berbagi akal sehat demi kebaikan bersama. Tetapi yang terjadi sering kali justru sebaliknya. Politik berubah menjadi gelanggang rebutan kursi, panggung pamer kekuasaan, dan meja transaksi kepentingan. Nurani, yang seharusnya menjadi kompas, akhirnya hanya jadi aksesoris pidato.
Kita sering mendengar para pemimpin bicara tentang rakyat, tentang kesejahteraan, tentang keadilan. Namun, sayangnya, semua itu terdengar lebih mirip puisi kampanye daripada janji yang sungguh-sungguh. Kata-kata manis itu seperti bunga plastik: indah dipandang, tapi tak pernah tumbuh, tak pernah berbuah. Sementara di bawah, rakyat tetap berbaris panjang menunggu bantuan, menunggu keadilan yang entah kapan tiba.
Padahal, jika nurani ditempatkan di kursi pengemudi, politik bisa jadi kendaraan yang menyenangkan. Ia bisa membawa bangsa ini ke arah yang lebih terang, lebih manusiawi. Tapi sayang, terlalu sering kita melihat yang duduk di kursi pengemudi justru ambisi. Nurani hanya jadi penumpang gelap, duduk di belakang, tak pernah diberi kesempatan berbicara.
Mungkin, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya kepada diri sendiri: untuk apa semua ini? Apakah kekuasaan memang lebih berharga daripada kemanusiaan? Atau jangan-jangan, kita sebenarnya sedang kehilangan arah, sibuk membangun gedung megah tapi lupa memperbaiki rumah hati kita sendiri (***)