![]() |
Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Hari-hari ini kita kembali disuguhi tontonan unik dari panggung demokrasi. KPU memutuskan ijazah calon presiden dan wakil presiden tidak boleh sembarangan dibuka ke publik. Rakyat pun bertanya-tanya: “Kalau kita saja mau daftar kerja harus fotokopi ijazah berlembar-lembar, kenapa calon pemimpin bangsa malah cukup bilang ‘percaya saja’?”
Politik negeri ini semakin mirip teka-teki silang tanpa kunci jawaban. Publik dipaksa menebak-nebak, seolah memilih pemimpin itu seperti main undian. Padahal masa depan bangsa bukan lotre, tapi tanggung jawab besar yang harus dipikul dengan keterbukaan. Transparansi mestinya bukan pilihan, melainkan keharusan.
KPU berdalih aturan ini demi melindungi data pribadi. Itu masuk akal. Tapi rakyat kecil merasa ada ketidakadilan. Anak kampung yang mau masuk kuliah masih diminta legalisir ijazah, sementara calon presiden bisa melenggang tanpa menunjukkan selembar pun. Kritik itu lahir bukan karena iri hati, tapi karena ingin pemilu yang jujur dan setara.
Tentu saja kepemimpinan tidak bisa diukur dari selembar ijazah. Pemimpin sejati lahir dari hati yang jernih, keberanian menanggung risiko, dan kasih pada rakyatnya. Namun justru karena itu, apa salahnya membuka dokumen sederhana sebagai tanda keterusterangan? Karena kepercayaan dibangun dari hal-hal kecil yang jujur.
Bangsa ini tidak sedang mencari orang dengan ijazah tertinggi, melainkan jiwa rendah hati. Tapi ketika selembar ijazah pun harus dirahasiakan, kita jadi khawatir yang hilang bukan sekadar kertas, melainkan kejujuran itu sendiri. Demokrasi bukan panggung sulap. Ia seharusnya ruang terang, di mana rakyat bisa melihat jelas, tanpa harus terus-menerus ditebak-tebak (***)