![]() |
Ilustrasi |
Coba tengok sebentar kondisi sosial dan politik kita hari ini. Kita sering merasa sudah modern, sudah demokratis, sudah punya undang-undang yang rapi. Tapi, begitu ada sedikit gesekan, kita mendadak lupa sopan santun. Di media sosial, cacian lebih cepat viral daripada doa. Di jalanan, ego pengendara lebih tinggi daripada kesadaran berlalu lintas. Di gedung-gedung megah tempat orang berseragam necis, kadang hukum dipelintir bukan untuk keadilan, tapi untuk kepentingan.
Padahal Rasulullah lahir dan tumbuh di tengah masyarakat yang keras. Beliau menghadapi kabilah yang sering berseteru, orang-orang yang merasa kuat karena nasab atau harta. Tapi dengan adab, beliau menundukkan hati banyak orang. Adab itu bukan formalitas, melainkan kesadaran bahwa manusia tidak lebih tinggi dari manusia lain, kecuali karena ketakwaannya.
Kalau hari ini kita merayakan Maulid dengan semangat gegap gempita, tetapi di waktu yang sama masih sibuk menjatuhkan lawan politik, masih tega mengkriminalisasi yang lemah, atau masih pura-pura tuli terhadap jeritan rakyat kecil, maka kita cuma merayakan kulitnya saja. Kita hanya sibuk pada pesta, bukan pada pesan.
Rasulullah mengajarkan: manusia itu tidak diukur dari jabatan atau gelarnya. Yang lebih penting adalah apakah ia bisa menjaga lisan, bisa berlaku adil, bisa menahan diri meski punya kuasa. Di situlah letak adab yang sejati. Dan kalau kita menengok sebentar ke negeri kita, betapa mahalnya harga adab hari ini.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti menjadikan Maulid sebagai rutinitas kalender. Kita butuh mengubahnya menjadi momentum perenungan kolektif: apakah bangsa ini masih beradab? Apakah pemimpinnya masih malu untuk berlaku zalim? Apakah rakyatnya masih ingat bahwa perbedaan bukan alasan untuk saling membenci?
Kalau semua itu bisa kita renungkan, mungkin Maulid Nabi tidak lagi sekadar pesta tahunan. Ia akan menjadi cahaya yang menuntun bangsa ini, supaya tidak hanya diserbut besar, tapi juga benar-benar beradab (***)