![]() |
Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Kita ini bangsa yang unik, bisa tertawa di tengah kebingungan, bisa tetap berkerumun meski hujan badai kebijakan datang silih berganti. Lihat saja KPU, lembaga yang mestinya jadi wasit paling adil dalam pesta demokrasi, malah beberapa kali seperti tukang bongkar pasang. Aturan dipasang hari ini, besok dicopot lagi, lusa dipasang kembali. Rakyat hanya bisa geleng-geleng sambil tersenyum pahit, “Lha, ini sebenarnya aturan atau sandal jepit?”
Kalau kita mau jujur, publik bukan tidak bisa menerima perubahan. Hidup ini memang isinya perubahan. Tetapi yang bikin rakyat merasa ditinggal di teras rumah adalah ketika perubahan itu datang tanpa alasan yang utuh, tanpa penjelasan yang menenangkan. Tahu-tahu ada aturan baru, tahu-tahu dicabut. Seperti lampu jalan yang hidup-mati tanpa saklar yang jelas.
Di warung kopi, orang-orang ngobrol ringan, “KPU ini kayak anak kecil main lego. Senang menyusun, senang juga merubuhkan.” Kita pun tertawa, meski di balik tawa ada rasa khawatir: bagaimana kalau demokrasi ini cuma jadi mainan di tangan orang-orang yang seharusnya menjaganya dengan penuh kesungguhan?
Menurut saya, KPU tentu tidak sedang main-main. Mereka juga tahu risiko jadi sorotan publik. Tetapi masalahnya, setiap kali aturan diubah, rasa percaya publik ikut tergerus. Demokrasi itu bukan hanya soal kotak suara, tapi juga soal rasa aman, rasa bahwa rakyat dihargai sebagai pemilik kedaulatan. Kalau aturannya bongkar pasang, kedaulatan rakyat jadi seperti rumah yang pondasinya tidak pernah sempat mengeras.
Rakyat tidak menuntut banyak, hanya kejelasan. Kalau aturan memang perlu dijaga kerahasiaannya demi melindungi data pribadi, jelaskanlah dengan bahasa sederhana. Kalau harus dibuka demi transparansi, lakukanlah dengan berani. Jangan biarkan rakyat menebak-nebak seperti sedang menonton sinetron dengan episode yang menggantung.
Kita semua tentu ingin pemilu ini berjalan damai, jujur, dan membuat bangsa ini semakin dewasa. Maka, kepada KPU, janganlah demokrasi diperlakukan seperti bongkar pasang permainan. Sebab rakyat bukan anak-anak kecil yang bisa dialihkan dengan mainan baru. Rakyat adalah pemilik panggung ini. Kalau aturan terus-menerus dipermainkan, maka panggung yang kita sebut demokrasi bisa roboh sebelum lakonnya usai (***)