![]() |
Ilustrasi |
Di pangkalan ojek, Jek Pakis juga tidak kalah cemas. Ia ingat punya rekening yang dulu dipakai waktu dia masih jadi mitra ojek online. Sudah lama memang tidak pernah dia sentuh. Tapi mendengar kabar soal "rekening dormant", ia langsung merasa seperti tersangka dadakan. “Masa rekening kosong aja dicurigai buat judi online? Wong saya mau beli pulsa aja kadang ngutang,” celetuknya sambil menyalakan rokok dari ujung rokok lama.
Sementara itu, Mak Irah sibuk membuka laci lemari, mencari kartu ATM-nya yang terakhir dipakai waktu dapat bansos pandemi. “Itu kartu ATM udah kayak SIM, gak dipake tapi kudu disayang,” katanya. Dia kesal bukan main. Menurutnya, aturan PPATK ini kayak sinetron yang salah naskah: niatnya bagus, tapi alurnya bikin pusing rakyat kecil. “Kita ini bukan bandar judol, kita korban sinyal!” ujar Mak Irah dengan logat khasnya.
Walau Presiden Prabowo sudah turun tangan dan PPATK buru-buru mencabut kebijakan itu, tetap saja trauma digital ini membekas. “Besok-besok jangan-jangan sepatu lama yang jarang dipakai juga bisa disita karena dikira ngumpet narkoba,” kata Jek Pakis, setengah bercanda setengah serius. Ketidakpercayaan terhadap kebijakan negara memang seperti kopi sachet di warung Mang Midun: manis di awal, tapi bikin asam lambung kalau terlalu sering.
Mang Midun pun akhirnya memutuskan untuk mengaktifkan kembali rekening lamanya. Bukan karena takut diblokir, tapi karena ingin coba transfer uang ke cucunya lewat mobile banking—yang setelah tiga jam belajar, tetap gagal dia operasikan. “Pake ini ribet, mending nitip uang lewat supir travel,” keluhnya sambil menyeruput kopi.
Toh pada akhirnya, kisah rekening ini cuma jadi pengingat bahwa kepercayaan masyarakat itu bukan bisa dibentuk lewat regulasi dadakan. Rakyat seperti Mang Midun, Jek Pakis, dan Mak Irah tak butuh kejutan-kejutan hukum yang bikin deg-degan. Mereka cuma ingin hidup tenang, rekening aman, dan tentu saja warung tetap ramai pembeli (***)