Di bawah pohon beringin yang rindang, Mang Midun lagi sibuk meniup gelas plastik bekas es teh, berusaha mengusir semut yang ngotot nongkrong di bibirnya. “Eh, kalian denger berita Bupati Pati itu nggak? Katanya mau naikkan PBB 250 persen, terus dibatalkan gara-gara warga protes,” kata Mang Midun. Jek Pakis yang sedang mengelap keringat karena habis narik ojek cuma nyengir, “Walah, kalau di sini naik segitu, aku bisa pindah rumah ke bawah beringin ini sekalian jadi penghuni tetap.”
Mak Irah, yang sedari tadi duduk sambil mengupas kacang tanah, ikut nimbrung. “Lah, kan katanya PBB itu buat bangunan dan tanah. Kalau tanahnya nggak ada, bangunannya numpang di atas pohon, bayar nggak?” tanyanya polos. Mang Midun terkekeh, “Bisa aja, Bu. Nanti ada pajak ‘Pohon dan Bangunan’. Petugasnya manjat tiap tahun.”
Jek Pakis lalu mulai menghitung-hitung sambil garuk kepala. “PBB 250 persen itu berarti kalau tahun kemarin bayar 100 ribu, tahun ini jadi 350 ribu, kan? Lah, kalau begitu, rumahku yang kecil itu nilainya bisa-bisa dikira istana sama pemerintah.” Mang Midun menimpali, “Iya, mungkin dianggap rumah sultan, saking mewahnya punya genteng bocor alami.”
Mak Irah yang doyan gosip kampung menambahkan, “Tapi untung ya dibatalkan. Katanya yang sudah telanjur bayar lebih nanti dikembalikan. Wah, itu mah kayak kita beli kerupuk, dikasih kembalian permen, tapi permen-nya janji dikirim bulan depan.” Mereka semua tertawa, walau di hati masing-masing, tahu bahwa urusan “dikembalikan” itu kadang panjang jalannya.
“Kalau aku jadi bupati,” ujar Jek Pakis sambil mengangkat dagu, “aku nggak akan naikkan pajak segitu. Paling cuma naikkan 2 persen, tapi kasih diskon 5 persen. Jadi rakyat senang, aku pun dipuji.” Mang Midun langsung menimpali, “Itu namanya bukan bupati, tapi tukang diskon.”
Akhirnya mereka bertiga sepakat: pajak memang penting buat pembangunan, tapi kenaikannya harus wajar dan masuk akal. Dan di bawah pohon beringin itu, keputusan “besar” pun diambil: kalau suatu hari pajak benar-benar naik lagi, mereka siap mendirikan “Pohon Beringin Residence” — komplek hunian bebas PBB, tapi bayar iuran kacang rebus untuk Mak Irah (***)