![]() |
Ilustrasi |
Di bawah pohon beringin, warung Mang Midun kembali jadi tempat berkumpul. Kopi hitam mengepul, suara motor Jek Pakis terdengar serak, dan Mak Irah datang sambil menenteng tas belanja. Obrolan kali ini bukan soal harga cabe atau minyak goreng, tapi soal demo besar yang sedang ramai di Jakarta, Bandung, Makassar, Surabaya, dan kota-kota lain. Semua bermula dari tewasnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online.
“Din, Irah… aku merinding baca berita. Ada orang mati, rakyat marah, eh di Senayan malah ada yang joget-joget dapat kenaikan gaji,” kata Jek Pakis sambil menggeleng. “Lha wong rakyat susah, kok mereka kayak pesta.”
Mak Irah nyeletuk, “Iya, Pakis. Lebih nyesek lagi ada yang bilang tuntutan rakyat itu katanya dari ‘orang-orang tertolol sedunia’. Ya Allah, lidah kok bisa segitunya, bisa-bisanya nyakitin hati orang kecil.” Ia meremas kantong plastik belanjanya, seakan menyalurkan geram.
Mang Midun yang dari tadi diam, akhirnya buka suara. “Aku ini jualan di warung, tiap hari dengar keluhan orang. Kalau mereka demo, bukan berarti mereka suka rusuh. Itu karena mereka udah nggak ada jalan lain. Tapi kalau yang di kursi empuk sana masih bisa bikin parodi ‘sound horeg’, berarti mereka nggak ngerti rasa perihnya rakyat di jalanan.”
Jek Pakis menimpali, “Betul. Kita ini kalau perut lapar, motor mogok, anak minta uang sekolah, nggak ada tempat buat joget. Tapi lihat wakil rakyat joget waktu gaji naik, ya jelas rakyat tersulut. Demo jadi anarkis itu salah, tapi asal muasalnya ya dari kelakuan elit yang bikin luka.”
Mak Irah menutup obrolan dengan nada lirih, “Andai mereka mau duduk sebentar di bawah pohon beringin ini, minum kopi pahit kayak kita, mungkin mereka paham rasanya hidup di bawah. Rakyat nggak minta banyak kok, cuma minta dihargai. Jangan sampai tragedi orang kecil malah jadi bahan olok-olok.” (Mang Marji)