![]() |
Ilustrasi |
Mak Irah datang sambil bawa bakul berisi pisang rebus. “Eh, kalian udah pasang bendera belum? Nanti katanya ada razia dari kelurahan kalau nggak pasang.” Jek Pakis meneguk teh botol yang dibelinya dari warung Midun, lalu menimpali, “Pasang sih pasang, Ra. Tapi benderaku itu udah bolong kena digigit tikus. Kira-kira itu masuk pelanggaran nggak?” Mang Midun ketawa, “Kalau benderamu bolong, mungkin nanti dikira perjuangan belum selesai.”
Obrolan berlanjut ke lomba-lomba Agustusan. Mang Midun cerita kalau RT sebelah sudah latihan panjat pinang pakai drum bekas yang licinnya kayak dilumuri minyak jelantah. “Waktu coba kemarin, yang manjat malah nyungsep ke parit,” ujarnya sambil ngakak. Mak Irah menimpali, “RT kita juga mau bikin lomba makan kerupuk, tapi kerupuknya kecil-kecil biar hemat. Bisa-bisa peserta cuma dapet gigitan angin.”
Tak hanya soal lomba, mereka juga membahas upacara HUT RI yang ke-80 nanti. Jek Pakis bilang, “Dengar-dengar di Istana nanti akan ada penampilan budaya daerah dari seluruh provinsi. Kalau Banyuasin diundang, kayaknya bakal bawa kelentangan sama sambal buah, ya?” Mak Irah mengangguk, “Iya, biar pejabat tahu kalau kita punya rasa pedas yang beda.” Mang Midun menambahkan, “Kalau aku sih maunya mereka juga undang ojek pangkalan buat jadi pengawal tamu negara.”
Meski banyak bercanda, ketiganya tetap sepakat bahwa momen 17 Agustus itu lebih dari sekadar lomba dan bendera. “Ini soal mengingat perjuangan, walau sekarang perjuangannya beda: dari antri beras murah sampai rebutan sinyal internet,” kata Jek Pakis setengah serius. Mak Irah menghela napas, “Yang penting kita tetap merdeka buat tertawa.” Mang Midun mengangguk sambil menatap bendera di depan warungnya, meski warnanya memang sudah agak pudar.
Obrolan di bawah pohon beringin sore itu diakhiri dengan kesepakatan tak tertulis: tahun ini mereka akan ikut semua lomba, walau hasilnya belum tentu menang. “Yang penting, kita nggak kalah sama semangat orang-orang zaman dulu,” kata Mang Midun sambil mengupas pisang rebus. Mak Irah dan Jek Pakis mengangguk, lalu tertawa bersama, membiarkan suara riang itu mengalun bersama angin yang menggoyang bendera di depan warung (***)