![]() |
Ilustrasi |
Mang Midun hanya mengangguk pelan, sambil menatap langit. “Lucunya ya, kita sering ngumpul tapi isinya malah cerita soal gak bisa makan,” katanya. Mereka bertiga tertawa, bukan karena kenyang, tapi karena saling mengerti. Di tengah harga kebutuhan pokok yang makin naik, obrolan ringan seperti ini justru jadi pengganjal lapar yang paling manjur.
Mereka tahu, hidup ini tak selalu soal kenyang. Kadang justru dari perut keroncongan itu lahir cerita paling hangat. “Kalau semua orang sibuk cari makan sendiri, nanti siapa yang dengerin curhatan Mak Irah?” canda Mang Midun. Mak Irah nyengir, “Kalau semua orang kaya, nanti siapa yang ngingetin kalau sabar itu penting?”
Ngumpul di warung atau di bawah pohon jengkol bagi mereka bukan sekadar rutinitas, tapi cara bertahan. Di situ ada tawa, ada kabar, dan ada harapan. Kadang, satu-satunya menu hari itu hanyalah cerita tetangga yang lucu atau kabar terbaru dari politik nasional yang mereka bahas dengan gaya kocak. Tapi semua itu cukup membuat mereka merasa masih punya ruang untuk hidup.
“Makan kenyang tapi sendiri itu gak enak,” ujar Jek Pakis. “Tapi makan kerupuk rame-rame sambil ketawa itu bikin kenyang batin.” Mereka sepakat, bahwa kenyataan boleh pahit, tapi kebersamaan itu manis. Dalam dunia yang makin individualistis, filosofi "ngumpul" justru jadi bentuk perlawanan kecil yang penuh makna.
Hari mulai sore, perut tetap keroncongan, tapi hati mereka hangat. Mereka pulang bukan membawa sembako, tapi membawa perasaan bahwa masih ada tempat mereka bisa saling bercanda dan bertukar cerita. Dan itu, menurut mereka, jauh lebih penting daripada sekadar sepiring nasi. Sebab di tengah hidup yang keras, “makan gak makan yang penting ngumpul” bukan sekadar pepatah lama, tapi prinsip bertahan hidup yang nyata (Mang Marji)