![]() |
Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pimred Banyuasin Pos
Begitu dapat abolisi, alih-alih bersyukur atau ngopi santai di balkon rumah, Tom Lembong malah memilih jalur yang agak menanjak: melaporkan tiga hakim yang pernah memvonisnya ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Mungkin inilah yang disebut comeback is real, tapi dengan bumbu formal hukum dan aroma perlawanan moral. Katanya, vonis 4,5 tahun atas kasus impor gula itu terlalu pahit dan tidak ada satu pun hakim yang menyisipkan dissenting opinion. Tak ada yang membela? Ya, semua kompak.
Laporan ini bikin suasana jadi seperti lakon drama ruang sidang yang diperpanjang. Publik belum lupa bahwa Tom sudah dinyatakan bersalah, dan lalu di-abolisi—yang secara politis artinya semacam “dibebaskan dengan pertimbangan khusus.” Tapi Tom tampaknya belum bisa move on dari rasa tak adil. Ia merasa harus membela reputasi, bukan cuma menikmati hasil surat sakti abolisi yang sudah kadung keluar dari kantong kekuasaan.
Yang menarik, justru bukan soal siapa benar dan siapa salah. Tapi bagaimana sebuah abolisi, yang biasanya jadi ujung dari perkara hukum, malah dijadikan titik awal untuk membuka babak baru: pelaporan balik. Jarang-jarang ada orang habis dimaafkan negara, lalu justru menyerang balik para hakim yang sudah menyatakan dia bersalah. Ini semacam makan kue pengampunan, lalu melempar garpu ke dapur pengadilan.
Bagi sebagian orang, ini bisa jadi bentuk keberanian. Tapi buat yang lain, ini mirip gaya nobar bola yang sudah usai: hasilnya 3-0, tapi kemudian salah satu pemain yang kalah ngadu ke wasit FIFA karena merasa keputusan di lapangan terlalu sepihak. Kita tidak tahu apakah ini langkah strategis, spontan, atau hanya bagian dari upaya mencuci nama di ruang publik. Tapi satu hal pasti: Tom tidak mau diam saja.
Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan MA kini harus bersiap menghadapi laporan yang bisa saja membuka diskusi panjang tentang independensi hakim, kode etik, dan bagaimana peran “rasa keadilan” dalam putusan pengadilan. Bisa jadi ini hanya formalitas, bisa juga jadi bola liar. Siapa tahu, nanti malah muncul perdebatan baru tentang apakah hakim harus menyediakan dissenting opinion supaya terkesan lebih adil?
Akhirnya, publik jadi penonton setia babak baru ini. Drama hukum Indonesia memang selalu punya kejutan: dari vonis yang bikin geleng-geleng, abolisi yang bikin angguk-angguk, hingga pelaporan hakim yang bikin tepuk jidat. Tapi ya begitulah, kadang hukum kita tidak selalu berjalan lurus—ia sering berbelok ke arah yang tidak terduga, seperti GPS yang kehilangan sinyal di tengah hutan belantara kepentingan (***)