Notification

×

Iklan

Iklan

Bupati Di-OTT KPK

Sabtu, 09 Agustus 2025 | 08.00.00 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-09T02:03:39Z
Ilustrasi 

Mang Midun sedang menyapu lantai warungnya pagi-pagi ketika Jek Pakis datang sambil memarkir motornya di depan. “Dengar, Dun? Bupati kita di-OTT KPK!” katanya, setengah berbisik tapi suaranya malah terdengar sampai ke jalan. Mak Irah yang lagi beli gula langsung menaruh kantong belanjaannya, ikut nimbrung, “Astaga, lagi-lagi pejabat! Kalau tiap bulan ada yang ketangkep, lama-lama kita punya kalender KPK.”


Jek Pakis menghela napas panjang. “Katanya sih soal proyek rumah sakit. Padahal kita aja kalau mau periksa ke puskesmas harus ngantri kayak mau beli tiket konser,” ujarnya. Mang Midun nyengir kecut. “Lah itu dia, duitnya entah ke mana. Kalau rumah sakitnya jadi, kan kita nggak usah jauh-jauh berobat. Eh malah nyangkut di laci meja pejabat.” Mak Irah manggut-manggut, sambil dalam hati mikir, kapan terakhir kali lihat pejabat datang ke kampung mereka selain musim kampanye.


Suasana warung jadi seperti ruang redaksi berita. Semua sibuk memberi analisis ala rakyat jelata. “KPK sekarang rajin banget nangkep pejabat, tapi kok nggak kapok-kapok ya mereka?” tanya Mak Irah. Jek Pakis menjawab santai, “Namanya juga duit. Kalau udah liat tumpukan miliaran, iman bisa tipis, apalagi kalau saldo rekening pribadi cuma segitu-gitu aja.” Mang Midun tertawa hambar, “Kalau kita sih nggak usah takut di-OTT, jangankan miliaran, lima puluh ribu aja udah senang.”


Di luar warung, bendera merah putih berkibar setengah hati di tiang bambu. Agustus memang bulan kemerdekaan, tapi berita tentang korupsi bikin suasana merdeka terasa seperti janji yang belum ditepati. “Kita ini rakyat udah terbiasa makan janji, Pakis,” kata Mang Midun sambil menuang kopi. “Bedanya, yang satu janji manis waktu kampanye, yang satu janji mau memperbaiki layanan publik. Dua-duanya sering basi.”


Mak Irah tiba-tiba nyeletuk, “Kalau ada lomba desa bebas korupsi, kira-kira ada nggak ya yang menang?” Semua terdiam sebentar, lalu tertawa bareng. Tertawa pahit, tentunya. Mereka tahu, kasus bupati ini cuma satu dari sekian banyak drama yang akan muncul di berita besok, lusa, dan seterusnya.


Pagi itu, warung Mang Midun jadi semacam posko obrolan rakyat yang penuh satire. Mereka mungkin cuma tiga tokoh marjinal di sudut kampung, tapi komentar-komentar mereka lebih jujur dari pidato pejabat mana pun. Dan di tengah obrolan itu, satu hal yang mereka sepakati: kalau rakyat kecil bisa hidup dengan uang seadanya, kenapa pejabat yang bergaji besar malah rakus? (***) 

×
Berita Terbaru Update