Notification

×

Iklan

Iklan

Beringin, Kopi, dan Bicara yang Bikin Repot

Kamis, 14 Agustus 2025 | 11.44.00 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-14T04:44:36Z
Ilustrasi 

Di bawah pohon beringin yang sudah jadi “posko resmi” obrolan warga kampung, Mang Midun sedang sibuk mengaduk kopi di gelas kalengnya. “Eh, Pakis, Irah… kalian denger nggak, tuh, si Abraham Samad dipanggil polisi gara-gara ngomong di podcast soal ijazahnya Pak Presiden dulu?” katanya sambil meniup kopi panas.


Jek Pakis, yang baru saja parkir motor ojeknya, langsung nyahut, “Iya, Midun. Katanya cuma ngomong doang, tapi bikin heboh. Sekarang orang jadi mikir dua kali mau ngomong di depan kamera. Apalagi kalau nyentuh urusan pejabat. Salah-salah, bukan cuma kopi yang panas, kepala juga ikut panas.” Ia lalu duduk, menghela napas, dan melirik Mak Irah yang datang membawa bakwan.


Mak Irah, sambil membuka bungkusan kertas minyak, tertawa kecil. “Ya kalau ngomongnya di beringin sini sih aman. Yang bahaya itu kalau ngomongnya di YouTube, TikTok, atau podcast. Soalnya sekarang ngomong itu ada biayanya—biaya nyali, biaya mental, kadang biaya pengacara.” Ia mencocol bakwan ke sambal dan membuat Mang Midun dan Jek Pakis mengangguk setuju. 


Mang Midun menimpali, “Tapi kan, Irah, kalau orang nggak boleh ngomong apa yang dipikirin, gimana mau maju? Dulu katanya kemerdekaan itu termasuk bebas berpendapat. Lah ini, baru nyebut dugaan aja udah dianggap bahaya. Padahal ya, namanya dugaan ya tinggal dibuktikan. Kalau bener, ya bener. Kalau salah, ya dibantah.”


Jek Pakis menggaruk kepala. “Masalahnya, Midun, di negeri ini, kebebasan ngomong kadang kayak jalan kampung—katanya bebas dilalui, tapi ada saja portalnya. Kuncinya dipegang orang tertentu. Kalau kita yang lewat, malah disuruh muter.” Mak Irah terkekeh sambil berkata, “Itu bukan portal, Pakis, itu palang pintu demokrasi.”


Akhirnya mereka bertiga sepakat, di bawah beringin ini semua orang bebas bicara, asal kuat menerima debat dan nggak baper. “Kalau di luar sini, kita harus ingat, lidah itu nggak bertulang, tapi bisa bikin tulang punggung kita gemetaran kalau salah ucap,” tutup Mang Midun. Lalu mereka kembali menyeruput kopi, sambil sepakat satu hal: beringin ini harus dijaga—karena di sinilah satu-satunya tempat mereka masih benar-benar merdeka berbicara (***) 

×
Berita Terbaru Update