Notification

×

Iklan

Iklan

Mendoakan Penguasa

Minggu, 27 Juli 2025 | 09.06.00 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-27T02:06:45Z
Ilustrasi

Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan 
Pimred Banyuasin Pos

Dalam kehidupan bernegara, mendoakan penguasa mungkin terdengar seperti praktik yang kuno atau hanya milik orang-orang saleh. Tapi coba pikirkan: dalam segala hal yang kita keluhkan setiap hari—macet, birokrasi yang lambat, harga cabai yang naik—ada benang merah yang tak bisa kita abaikan, yaitu keputusan dan kebijakan dari para penguasa. Maka, berdoa untuk mereka, meski terdengar pasif, sebenarnya adalah bentuk partisipasi yang paling sunyi tapi juga paling jujur.

Bukan berarti doa bisa menggantikan kritik atau protes. Sama sekali tidak. Mendoakan penguasa bukan tindakan tunduk tanpa syarat, melainkan sebuah pengingat bahwa mereka juga manusia—dengan tekanan, godaan, dan mungkin juga kebingungan dalam mengambil keputusan. Kadang, barangkali, mereka juga ingin melarikan diri ke pantai dan mematikan ponsel, seperti kita semua saat burnout. Tapi sayangnya, mereka digaji untuk terus “on”.

Ada anggapan bahwa mendoakan penguasa hanya akan membuat rakyat semakin pasrah. Tapi bukankah doa juga bisa menjadi bentuk perlawanan batin? Kita mendoakan agar mereka diberikan kebijaksanaan, bukan kesombongan; agar mereka lebih peduli pada rakyat, bukan pada citra. Di situ letak kekuatan doa: ia menyusup di antara batas-batas formal demokrasi dan menyentuh dimensi yang tak terjangkau oleh buzzer atau polling elektabilitas.

Lucunya, kadang doa yang tulus justru terasa lebih menusuk daripada kritik terbuka. Bayangkan jika rakyat berbondong-bondong mendoakan agar pemimpinnya dijauhkan dari godaan korupsi, atau diberi keberanian untuk menolak sogokan. Rasanya seperti sindiran paling elegan—tanpa teriak, tanpa meme, tapi tetap membuat pipi memerah. Karena memang, siapa yang berani bilang “Amin” di depan doa semacam itu tanpa merasa tertohok?

Mendoakan penguasa bukan berarti kita selalu menyetujui mereka. Justru karena kita tahu betapa pentingnya jabatan itu dan betapa bahayanya jika dipegang oleh orang yang salah, kita mendoakan agar yang benar dikuatkan, dan yang keliru segera diberi petunjuk. Kita berdoa bukan karena mereka layak, tapi karena kita ingin negeri ini tetap waras.

Jadi, bila lain kali melihat berita yang membuat kepala mendidih, mungkin setelah marah-marah di grup WhatsApp dan melempar sindiran di media sosial, sempatkanlah juga satu-dua kalimat doa. Bukan untuk membuat mereka nyaman, tapi untuk menjaga akal sehat kita sendiri—karena berharap, walau lewat doa, jauh lebih sehat daripada terus-menerus putus asa (***) 
×
Berita Terbaru Update