Oleh: Pebriyan Arisca Pratama
Pernah nggak sih lo ngerasa deket sama temen, sampe titik tukar cerita—dari yang sepele bikin kopi saset bareng, sampe drama eksistensi masing-masing? Kadang, semua terasa kayak episode pilot serial Netflix: chemistry langsung klik, kayak soulmate-an yang ditemukan lewat algoritma acak-banget, apalagi kalau sebaya atau sekongsi etnis. Tapi lama-lama? Empati yang dulu manis jadi kayak permen kadaluarsa—pudar gitu aja, cuma ninggalin aftertaste “illusion of intimacy”.
Afirmasi Semu
Lo bisa aja ngerasa, “Wah, ini peer support banget!”—tapi giliran butuh validasi atau sekadar affirmation dari mereka, tiba-tiba vibes-nya kayak ghosting di ruang hampa. Saling tolong? Ada, tapi reflek transaksionalnya lebih kenceng. Makan bareng, nongkrong, tapi dalam hati kok tetap sepi? Mungkin kita semua korban “paradoks kedekatan”—merasakan attachment tanpa benar-benar secure, cuma bergelayut di anxious-preoccupied zone.
Terus kalau lo mulai muak, pengen rasanya ngoceh brutal, “Bro, ini beneran temen apa cuma mutualism sesaat?” Ya gimana, di era performative empathy, batas antara teman asli dan sekadar convenience sampe blur level dramatis. Kadang kepentingan balas kepentingan tuh kerasa banget, kayak barter followers sama mutualan di IG.
Nah, kalau tiba-tiba kepentingan mereka clash sama jalan lo, tendensi “strategic empathy”—alias pura-pura peduli cuma buat powerplay—bisa bikin kita berubah jadi manipulator psikologis dadakan, playing on everyone’s cognitive bias demi survival. Ngeri, ya? Tapi realita, bro! Kadang kita harus “seleksi alam” pertemanan sendiri, kayak swipe left di Tinder, cuma ini swipe dalam kehidupan beneran.
Kurator Banget nih Gue!
Jadi, apakah ini proses seleksi teman (friend curation)? Mungkin iya, mungkin juga sekadar self-serving bias yang kebanyakan drama, atau efek dopamine rush di awal kenalan yang makin lama makin hambar gara-gara nggak ada keintiman emosional beneran.
Atau, jangan-jangan lo dan mereka memang sama-sama kena imposter syndrome sebagai sahabat, jadi semua cuma main peran “as if”. Kalau terlalu banyak drama, ya wajar kalau akhirnya pingin “unfriend” semua biar tenang, toh, kehidupan ini memang kadang cuma parade kepentingan, disguised as thrown-together friendships.
Selamat datang di dunia afirmasi semu—panggung teatrikal, bro: intimacy itu ilusi, loyalty itu tricky, trust itu privilege, dan tiap circle kadang cuma stage buat acting, dengan script yang terus ditulis ulang seiring kepentingan berubah!.(***)