Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pimred Banyuasin Pos
Perang di perbatasan antara Kamboja dan Thailand baru-baru ini kembali mengusik ketenangan kawasan Asia Tenggara. Dentuman senjata dan laporan bentrokan bersenjata mencuat ke permukaan, seolah membuka kembali luka lama yang belum benar-benar sembuh. Sengketa di sekitar kuil Preah Vihear kembali menjadi pemicu, memperlihatkan betapa rapuhnya perdamaian jika tidak dijaga dengan sungguh-sungguh.
Untungnya, dalam waktu relatif singkat, kedua negara memilih untuk tidak memperpanjang konflik. Proses gencatan senjata sedang berlangsung, dan meja diplomasi kembali dibuka. Ini tentu angin segar bagi kawasan yang menginginkan stabilitas, bukan bara api yang terus menyala. Meski prosesnya tidak mudah, ini menunjukkan bahwa ada kesadaran politik untuk menghentikan kekerasan.
Kamboja dan Thailand sebenarnya punya lebih banyak alasan untuk bekerja sama ketimbang saling mencurigai. Keduanya berbagi sejarah panjang, budaya serumpun, serta kepentingan ekonomi yang saling berkaitan. Konflik yang berulang hanya akan menguras sumber daya, menambah ketegangan, dan merusak citra kedua negara di mata dunia internasional.
Namun, perdamaian bukanlah hasil dari satu kali pertemuan atau satu dokumen kesepakatan. Ia harus terus-menerus dijaga melalui komunikasi terbuka, itikad baik, dan kepekaan terhadap hal-hal kecil yang bisa memicu ketegangan. Jika tidak, bentrokan bisa kembali meletus sewaktu-waktu, dan siklus konflik pun berulang.
Langkah-langkah praktis seperti patroli bersama, zona netral di titik rawan, serta kerja sama budaya dan pariwisata bisa menjadi jembatan untuk merawat hubungan. Apalagi, masyarakat perbatasan di kedua sisi justru menginginkan ketenangan untuk bisa berdagang, bertani, dan menjalani hidup tanpa rasa takut.
Masa depan perdamaian antara Kamboja dan Thailand kini berada di persimpangan. Apakah akan menjadi babak baru menuju rekonsiliasi, atau kembali jatuh dalam konflik berulang? Jawabannya tergantung pada keberanian kedua negara untuk memilih damai, bukan hanya saat keadaan memanas, tetapi juga saat semuanya tampak tenang. Sebab damai bukan pilihan saat perang tak bisa dimenangkan, melainkan saat akal sehat dikedepankan (***)