Notification

×

Iklan

Iklan

Ketika Perang Menjadi Pilihan

Sabtu, 26 Juli 2025 | 19.14.00 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-26T12:16:07Z
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pimred Banyuasin Pos 

Perang, kata yang terdengar gagah di bibir para politisi, tapi pedih di telinga para ibu dan anak yang harus kehilangan rumah, kampung, bahkan masa depan. Kini, kabar dari perbatasan Thailand dan Kamboja kembali memunculkan rasa getir itu. Dua negara tetangga, yang sebenarnya saudara tua dalam sejarah dan budaya, justru memilih saling mengangkat senjata. Pertanyaannya: kenapa perang masih menjadi pilihan?

Padahal, Thailand dan Kamboja punya banyak alasan untuk tidak bertempur. Keduanya mayoritas menganut agama Buddha—ajaran yang sejatinya menekankan welas asih dan pengendalian diri. Ironis bukan, ketika umat dari agama yang dikenal damai justru terseret dalam konflik yang mengorbankan ribuan nyawa hanya demi klaim wilayah atau ego masa lalu? Seolah ajaran suci tinggal tulisan, tak lagi jadi pedoman.

Tak hanya itu, kedua negara ini juga sama-sama berbentuk kerajaan. Dalam sejarahnya, raja-raja mereka dihormati bukan karena kekuasaan absolut, tetapi karena kemampuan menjaga harmoni dan menyatukan rakyat. Di masa lalu, raja adalah simbol kedamaian, bukan panglima perang. Tapi kini, suara drum militer lebih nyaring daripada petuah para tetua istana.

Lebih menyedihkan lagi, Thailand dan Kamboja adalah anggota ASEAN—sebuah organisasi yang sejak awal berdiri membawa slogan damai: "One Vision, One Identity, One Community." Tapi sayang, visi itu kerap kabur ketika perbatasan dikaburkan oleh ambisi. ASEAN yang seharusnya menjadi ruang mediasi, justru kerap hanya menjadi penonton dengan jargon kosong.

Mungkin karena terlalu lama damai, kita lupa betapa mahalnya perdamaian itu. Kita jadi percaya bahwa perang bisa menyelesaikan segalanya, padahal sejarah sudah berulang kali menunjukkan sebaliknya. Tidak ada pemenang sejati dalam perang, yang ada hanya generasi yang tumbuh dengan trauma dan dinding kebencian yang makin tinggi.

Ketika perang menjadi pilihan, maka yang kalah bukan hanya tentara di medan laga, tapi juga nurani kita bersama. Dan jika dua negara bersaudara seperti Thailand dan Kamboja saja bisa saling menyakiti, apa kabar kita yang kadang masih sibuk bertengkar hanya karena beda pilihan politik? Mungkin sudah waktunya kita menempatkan damai bukan sebagai alternatif, tapi sebagai satu-satunya jalan (***) 
×
Berita Terbaru Update