-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Tradisi Ngambek Ari, Saldo Sosial Bisa Naik-Turun Gara-Gara Ini!

Senin, 08 Desember 2025 | 11.45 WIB | 0 Views Last Updated 2025-12-08T04:46:24Z
Ilustrasi 

Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan 

Di banyak desa di Banyuasin, hidup bukan hanya soal bertetangga—melainkan soal berbagi nasib. Itulah ruh dari tradisi ngambek ari, sebuah mekanisme sosial yang berdiri di atas prinsip memberi dengan harapan memperoleh manfaat yang setara di kemudian hari. Tradisi ini bukan sekadar kebiasaan, tetapi fondasi halus yang membuat hubungan antarmanusia tetap hangat dan saling terikat. Ketika sebuah keluarga mengadakan hajatan, terutama pesta pernikahan, masyarakat datang bukan sebagai tamu, melainkan sebagai bagian dari keluarga besar yang memikul bersama beban kebahagiaan itu.


Salah satu pilar terpenting dalam ngambek ari adalah lelang adat. Dalam suasana yang penuh keakraban, tuan rumah mengumumkan bantuan uang dari warga dengan suara lantang, seolah mematri janji di hadapan seluruh kampung. Namun uang itu bukan hadiah yang putus. Ia adalah titipan, sebuah investasi dalam relasi sosial yang kelak harus dikembalikan kepada si pemberi ketika ia pun mengadakan hajatan. Sistem ini membuat setiap pemberian memiliki ingatan, dan setiap ingatan memiliki bentuk balasan. Di sinilah masyarakat Banyuasin menjaga agar pertolongan tidak hanya berjalan satu arah.


Selain bantuan uang, sambetan atau gotong royong tenaga menjadi wajah paling meriah dari ngambek ari. Perempuan-perempuan sibuk di dapur sambil saling berbagi cerita, aroma masakan menyengat lembut dari pagi hingga malam, dan para lelaki bekerja memasang tenda atau menata kursi. Semua dilakukan dengan rasa ringan karena mereka tahu: tenaga yang mereka keluarkan hari ini akan kembali ketika tiba giliran mereka mengadakan hajatan. Dalam logika masyarakat Banyuasin, sambetan adalah bentuk nyata dari prinsip “aku membantumu supaya kelak engkau membantuku.”


Namun, tradisi ini tidak berjalan tanpa aturan. Bila seseorang diundang sambetan tetapi ia memilih tidak hadir tanpa alasan kuat, masyarakat akan mengingat. Ingatan kampung panjang dan senyap, tetapi cukup untuk membuat sambetan berikutnya terasa hampa baginya. Orang yang mengabaikan undangan sambetan akan merasakan sanksi sosial berupa berkurangnya dukungan ketika ia mengadakan hajatan sendiri. Dalam lingkungan sosial yang hidup dari keseimbangan, ketidakhadiran bukan hanya dianggap malas, melainkan memutus arus memberi-dan-membalas.


Begitu pula dalam hal lelang. Orang yang tidak mengembalikan uang lelang tidak hanya berurusan dengan nominal yang tertunda, tetapi juga dengan reputasi. Tuan rumah atau tetangga akan mendatangi dengan cara yang santun namun tegas, meminta penyelesaian kewajiban. Ini bukan sekadar urusan uang kembali, tetapi pemulihan marwah. Masyarakat Banyuasin menilai kehormatan seseorang dari kemampuannya menepati janji yang pernah diumumkan di hadapan kampung.


Pada akhirnya, ngambek ari bukan hanya tradisi membantu saat hajatan, tetapi sebuah sistem sosial yang menjaga agar manusia tidak berjalan sendirian. Ia memastikan bahwa setiap kebaikan yang keluar dari satu tangan akan kembali melalui tangan lain pada waktunya. Tradisi ini menjadi bukti bahwa masyarakat Banyuasin memandang gotong royong sebagai janji, bukan hanya aksi spontan. Selama ngambek ari terus dijalankan, kampung-kampung di Banyuasin akan tetap hidup sebagai ruang di mana memberi dan menerima adalah bagian dari ritme kehidupan sehari-hari (***) 

×
Berita Terbaru Update