![]() |
| Seorang wanita sedang membaca mushaf Al-Qur'an |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Setelah kepergian Rasulullah ﷺ, Madinah seperti kehilangan napasnya. Jalan-jalan yang dulu penuh langkah beliau kini terasa lengang. Angin yang biasa membawa salam dan doa kini hanya berputar tanpa arah. Di sebuah rumah kecil, Hafshah binti Umar duduk di sudut kamar, memandangi lembaran-lembaran wahyu yang dulu disalin dengan hati penuh cinta. Itulah mushaf — amanah paling suci yang pernah dipercayakan padanya.
Ia masih ingat betapa setiap ayat yang turun disambut dengan wajah berseri. Rasulullah membacanya pelan, dan para sahabat menghafalnya dengan dada bergetar. Kini, suara itu telah diam, tapi ayat-ayatnya tetap hidup di rumah Hafshah, berbaring tenang di antara air mata dan kenangan. Setiap malam, ia menatap lembaran itu seperti menatap bayangan Rasulullah yang tak lagi hadir, tapi masih menyapa lewat setiap kalimat Tuhan.
Hafshah tahu, tangannya gemetar bukan karena takut kehilangan mushaf itu, tapi karena ia merasa kecil di hadapan amanah sebesar langit. Ia menjaga setiap huruf seperti menjaga nadi kehidupannya sendiri. Tak ada yang lebih berharga dari tulisan yang pernah disusun oleh para penulis wahyu, di bawah bimbingan manusia paling mulia. Mushaf itu bukan sekadar tinta di atas kulit, melainkan napas yang menghidupkan seluruh sejarah umat.
Di luar, kehidupan terus berjalan. Umar bin Khattab, ayahnya, sibuk dengan urusan umat, dan para sahabat mencoba menata ulang hidup tanpa kehadiran sang Nabi. Tapi di hati Hafshah, waktu seperti berhenti. Ia belajar menerima bahwa menjaga wahyu juga bagian dari mencintai Rasulullah — cinta yang kini harus dijalankan dalam diam, dalam kesetiaan tanpa kata.
Bertahun kemudian, ketika Khalifah Utsman memulai kodifikasi mushaf agar Al-Qur’an tak terpecah dalam bacaan dan dialek, Hafshah menyerahkan lembaran itu dengan mata yang berkaca. Ia tahu, saat itu bukan sekadar menyerahkan mushaf, melainkan melepaskan kenangan terakhir tentang seseorang yang pernah mengajarinya makna cinta yang paling suci: cinta kepada Allah dan kalam-Nya.
Dan begitulah, sejarah mencatat Hafshah bukan sekadar istri Rasulullah, tapi penjaga kalam Tuhan. Ia tak berperang, tak berdakwah di mimbar, tapi ia menjaga sesuatu yang lebih dalam: kesunyian yang berisi wahyu, cinta yang berwujud amanah, dan kesedihan yang berubah menjadi cahaya abadi bagi generasi setelahnya (***)



