Ilustrasi
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Kalau kita duduk di warung kopi, lalu membicarakan soal kebudayaan, sering kali rasanya seperti sedang membicarakan sesuatu yang besar dan jauh di atas kepala kita. Padahal kebudayaan itu sebenarnya bukan cuma tarian daerah atau upacara adat yang diselenggarakan di alun-alun. Kebudayaan adalah cara kita makan pecel lele di pinggir jalan, cara kita menyapa tetangga, sampai bagaimana kita mengajarkan anak-anak untuk antre atau malah menyerobot. Tapi, entah kenapa, narasi tentang kebudayaan justru sering dikuasai oleh segelintir orang yang merasa lebih berhak mendefinisikannya.
Pertanyaan yang muncul: siapa sih sebenarnya yang mengendalikan narasi kebudayaan? Apakah para pejabat dengan sambutan formal di panggung festival? Apakah akademisi dengan jurnal-jurnal yang sulit dipahami orang kampung? Atau para influencer yang menjadikan budaya sekadar konten untuk mendapat "like" dan "subscribe"? Sementara itu, masyarakat yang sehari-hari hidup dengan kebudayaan justru sering jadi penonton.
Ada keanehan di situ. Kebudayaan, yang mestinya tumbuh dari akar kehidupan rakyat, malah seperti dipatok dari atas. Bayangkan kalau nasi goreng tiba-tiba hanya boleh dimasak dengan standar hotel bintang lima. Padahal keindahan nasi goreng itu justru ada pada aroma gosong dari wajan gerobak kaki lima. Begitu juga kebudayaan: ia lahir dari keseharian, bukan dari pidato resmi atau labelisasi formal.
Namun, jangan juga buru-buru menyalahkan. Kadang kita sendiri yang begitu gampang kagum pada kemasan "modern" dari luar, lalu lupa menghargai milik sendiri. Kita bangga menonton konser K-Pop, tapi pura-pura tidak kenal dengan musik keroncong. Kita rajin meniru gaya hidup barat, tapi malu kalau disebut "ndeso". Maka, narasi kebudayaan itu sering kali tidak lagi dikendalikan oleh kita, melainkan oleh tren global yang membungkus kita tanpa terasa.
Akhirnya, kebudayaan hanyalah soal siapa yang paling keras menyuarakan narasinya. Kalau rakyat kecil diam, maka para elite, korporasi, dan industri hiburanlah yang mengendalikannya. Tetapi, kalau kita kembali pada kearifan sederhana di warung kopi, di sawah, di jalanan kampung—maka narasi kebudayaan bisa kembali ke tangan kita. Karena sejatinya, kebudayaan bukan soal siapa yang mengendalikan, melainkan bagaimana kita semua merayakan hidup bersama tanpa kehilangan jati diri (***)