Notification

×

Iklan

Iklan

Cuma Orang Melayu Banyuasin yang Tahu Nikmat Sebenarnya dari Bekasam Udang Ini!

Jumat, 05 September 2025 | 08.00 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-05T02:13:57Z
Bekasam Udang 

Di sebuah desa di tepian Sungai Musi, menjelang siang hari, aroma gurih bercampur asam tercium dari dapur kayu. Seorang ibu tampak sibuk di depan wajan, mengaduk tumisan cabai merah bersama bekasam udang yang sudah berhari-hari difermentasi. Bagi orang luar, mungkin baunya cukup membuat alis mengernyit. Tapi bagi masyarakat Banyuasin, justru dari situlah tanda-tanda kenikmatan hadir.


“Kalau sudah cium baunya, rasanya perut langsung minta nasi,” kata Pak Rahman, seorang nelayan tua yang sejak kecil akrab dengan bekasam. Ia tertawa kecil, lalu menambahkan, “Anak rantau biasanya paling kangen bekasam. Sampai-sampai rela bawa toples ke Jakarta, meski baunya bikin sekampung heboh.”


Bekasam udang memang bukan makanan sembarangan. Ia lahir dari kebiasaan lama masyarakat Melayu Banyuasin yang pandai memanfaatkan hasil laut. Udang segar dari sungai atau laut dicampur dengan garam dan nasi, lalu disimpan dalam wadah tertutup hingga terjadi fermentasi. Dari situlah keluar rasa khas: gurih, sedikit asam, dan punya lapisan aroma yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Di Banyuasin, bekasam udang bukan sekadar lauk—ia adalah cerita, tradisi, dan kehangatan keluarga.

Tidak semua orang bisa langsung jatuh cinta pada bekasam. Aroma tajamnya sering membuat orang yang baru pertama kali mencoba mundur selangkah. Namun bagi lidah orang Banyuasin, itulah inti kenikmatan. Apalagi jika disajikan bersama sepiring nasi hangat, ikan goreng kering, dan lalapan segar. Satu suap saja cukup membuat tangan otomatis meraih sendok lagi, lagi, dan lagi.


Bagi keluarga Melayu Banyuasin, bekasam juga punya nilai sosial. Hidangan ini kerap hadir saat makan siang bersama keluarga, atau jadi menu andalan ketika ada kerabat berkunjung. Lebih dari itu, bekasam juga sering dijadikan oleh-oleh khas bagi mereka yang tinggal di rantau. Tak jarang, kisah lucu muncul di perjalanan. Bau bekasam yang menyengat membuat penumpang lain penasaran, bahkan ada yang sampai tergoda untuk ikut mencicipi.


“Kalau orang luar sudah berani coba, biasanya ketagihan,” ujar Ibu Mariam, seorang ibu rumah tangga di Banyuasin. “Awalnya mereka tutup hidung, tapi begitu masuk mulut, baru sadar nikmatnya.”


Kini, di tengah derasnya arus modernisasi kuliner, bekasam udang tetap bertahan. Ia tidak tampil mewah atau cantik di piring, tetapi menyimpan cerita panjang tentang cara hidup, tradisi, dan kebersahajaan masyarakat Banyuasin. Setiap gigitannya seperti menghadirkan kembali suasana desa: suara burung di pagi hari, anak-anak bermain di halaman rumah panggung, dan keluarga berkumpul di meja makan sederhana.


Bekasam udang adalah bukti bahwa makanan bukan sekadar soal rasa. Ia bisa jadi jembatan kenangan, identitas budaya, sekaligus kebanggaan sebuah daerah. Dan benar kata orang Banyuasin, hanya mereka yang tumbuh bersama bekasam yang tahu betul: di balik aroma menyengat itu, tersimpan kenikmatan yang tidak bisa ditukar dengan apapun (***) 

×
Berita Terbaru Update