![]() |
Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Kabar terbaru dari gedung Kejaksaan Agung rasanya seperti nonton drama seri yang plotnya makin absurd. Nadiem Makarim, eks bos Gojek sekaligus eks Menteri Pendidikan, kini resmi masuk daftar tersangka kasus korupsi pengadaan laptop Chromebook. Yang dulu dielu-elukan sebagai “milenial penyelamat pendidikan,” sekarang justru berbalik jadi tokoh utama dalam cerita klasik negeri ini: pejabat dan proyek raksasa yang bermasalah.
Ironinya, perkara ini bukan sekadar soal laptop. Dari keterangan Kejagung, terkuak bahwa jauh sebelum proyek berjalan, Nadiem sudah nongkrong bareng Google Indonesia, ngobrolin soal Chrome OS. Keren ya, visi digitalisasi pendidikan kita ternyata lahir dari “meeting eksklusif” sebelum tender dimulai. Kalau benar begitu, kok jadi mirip kayak skripsi yang bab pembahasannya ditulis duluan sebelum bab metodologi.
Yang juga menarik adalah adegan saat Nadiem datang ke Kejagung. Kemeja putih rapi, senyum tipis, dan tentu saja ditemani Hotman Paris. Rasanya lengkap sudah paket “drama hukum versi premium”—mantan menteri yang kini tersangka, plus pengacara selebritas. Kalau ini sinetron, ratingnya pasti naik tinggi.
Namun, di balik semua gemerlap nama besar itu, ada luka yang mestinya bikin kita geram. Laptop yang katanya untuk masa depan pendidikan, untuk anak-anak di sekolah, ternyata justru jadi pintu masuk kasus korupsi. Bayangkan, barang yang seharusnya membantu murid belajar malah disulap jadi komoditas permainan kekuasaan.
Dan publik pun bereaksi. Ada yang kaget, ada yang nyinyir, ada juga yang merasa ini cuma episode lanjutan dari cerita lama: reformasi yang setengah matang. Bagaimana tidak? Sektor pendidikan yang seharusnya jadi benteng harapan justru dipertontonkan sebagai panggung penuh konflik kepentingan.
Kalau kasus ini terbukti, maka kita kembali belajar satu hal: teknologi secanggih apa pun, jargon inovasi seindah apa pun, akan kalah oleh nafsu kuasa dan uang. Mungkin benar kata pepatah lama, “korupsi itu ibarat virus”—ia bisa menjangkiti siapa saja, bahkan mereka yang dulunya dianggap “anak emas perubahan.” (***)