![]() |
Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Kasus tayangan Xpose Uncensored Trans7 yang menyinggung Pondok Pesantren Lirboyo beberapa hari lalu bukan sekadar kekeliruan teknis. Ia adalah cermin buram dari cara sebagian media memperlakukan sumber-sumber moral bangsa: dengan rasa ingin tahu yang besar, tapi dengan rasa hormat yang kecil. Tayangan itu menampilkan kehidupan pesantren dalam bingkai yang keliru—seolah santri hidup dalam keterpaksaan, seolah kiai menumpuk kemewahan di atas kepatuhan muridnya. Inilah akibat dari kamera yang bekerja tanpa kesadaran sosial: tajam menangkap gambar, tapi tumpul membaca makna.
Lirboyo bukan sekadar lembaga pendidikan agama. Ia adalah ruang di mana adab diajarkan sebelum ilmu. Ketika santri duduk rendah, bukan karena dipaksa tunduk, tapi karena tahu bahwa ilmu harus dihormati. Maka ketika gestur itu diambil, dipotong, lalu dikemas menjadi hiburan, bukan hanya pesantren yang dipermalukan—kita semua sedang menyaksikan bagaimana televisi bisa kehilangan rasa malu. Media yang seharusnya mengedukasi publik malah ikut menertawakan sesuatu yang tidak mereka pahami.
Masalahnya bukan pada kamera, melainkan pada niat di baliknya. Kamera hanyalah alat. Tapi ketika alat itu diarahkan dengan motif sensasional, bukan dengan niat mencari kebenaran, maka ia berubah menjadi senjata. Dalam konteks ini, Xpose Uncensored hanya salah satu gejala dari penyakit lama: media yang lebih mementingkan rating daripada tanggung jawab. Kritik sosial boleh, investigasi penting, tapi menyinggung kehormatan tokoh agama dengan framing sembrono bukan keberanian—itu kecerobohan.
Permintaan maaf yang datang belakangan memang patut diapresiasi, tapi juga perlu ditimbang: apakah itu lahir dari penyesalan atau dari tekanan publik? Permintaan maaf tidak cukup menambal luka kepercayaan. Publik, terutama kalangan pesantren, menuntut lebih dari sekadar klarifikasi—mereka menuntut refleksi. Karena masalah seperti ini bukan hanya tentang satu program, tapi tentang budaya redaksi yang kehilangan pedoman moral.
Ironisnya, pihak yang diserang justru menunjukkan kedewasaan. Tidak ada amarah dari para kiai. Tidak ada tuntutan kasar. Mereka diam dengan martabat, dan diamnya jauh lebih kuat dari segala narasi pembelaan di televisi. Tapi diam itu jangan disalahartikan sebagai lemah. Diam para kiai adalah peringatan: bahwa adab selalu lebih tinggi dari kebebasan berekspresi tanpa batas.
Kini, tugas kita bukan sekadar menuntut maaf, tapi menuntut perubahan cara pandang. Dunia media harus belajar kembali tentang empati, tentang keseimbangan antara kritik dan kesopanan. Kamera yang tajam memang penting, tapi yang lebih penting adalah mata hati yang jernih. Sebab jika media terus menyorot tanpa memahami, maka bangsa ini akan kehilangan arah—terlalu sibuk merekam, tapi tak sempat belajar menghormati (***)