-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Demokrasi Kita Hanya Sekadar Upacara atau Substansi

Sabtu, 04 Oktober 2025 | 12.00 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-04T05:00:00Z
Anggota DPR hasil pesta demokrasi 

Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan 
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos 

Kadang-kadang saya berpikir, demokrasi di negeri ini lebih mirip pesta rakyat daripada sebuah ruang musyawarah. Kita punya panggung besar bernama pemilu, ada spanduk, baliho, jargon-jargon indah yang bertebaran di jalanan, dan tentu saja teriakan “hidup rakyat: ” yang dikumandangkan di panggung politik. Tetapi setelah pesta selesai, rakyat kembali ke dapurnya masing-masing, menanak nasi dengan beras yang makin mahal, sementara para pemenang sibuk berbagi kursi. Demokrasi akhirnya seperti pesta hajatan: meriah sehari, tapi utang-utang resepsi ditanggung berbulan-bulan.


Padahal, demokrasi bukan sekadar kotak suara dan tinta biru di jari. Demokrasi mestinya adalah ruang di mana suara rakyat bukan hanya dihitung, tetapi juga didengar. Sayangnya, suara rakyat lebih sering jadi musik latar yang sayup-sayup, kalah keras dari suara mesin partai, suara kepentingan, dan suara kas bon politik. Demokrasi yang seharusnya substansi, berubah menjadi formalitas. Seperti akad nikah tanpa cinta: sah di KUA, tapi hambar di hati.


Kita memang sering pandai membuat simbol. Bendera dikibarkan, lagu dinyanyikan, pidato dibacakan. Tapi simbol tanpa roh hanyalah dekorasi. Sama seperti rumah tanpa penghuni, demokrasi kita sering terlihat gagah dari luar tapi kosong di dalam. Rakyat sering kali tidak ikut duduk di meja makan kekuasaan, hanya berdiri di luar jendela, mengintip sambil menelan ludah.


Apakah berarti demokrasi kita gagal? Tidak sesederhana itu. Demokrasi kita sedang belajar berjalan, meskipun jalannya pincang. Kita masih sering terpeleset oleh uang, diseret oleh ambisi, dan terjebak oleh kepalsuan. Tapi justru di situlah pentingnya kesadaran: bahwa demokrasi bukan barang jadi, melainkan proses panjang yang harus terus dipupuk.


Jadi, mari kita tanyakan ke hati kita masing-masing: demokrasi ini mau kita rawat sebagai substansi, atau cukup puas kita jadikan sekadar upacara? Kalau hanya upacara, kita akan terus jadi penonton dalam pesta yang dibiayai dengan keringat kita sendiri. Tapi kalau kita mau substansi, berarti kita harus siap terlibat, berani bersuara, dan tidak sekadar menunggu amplop. Karena pada akhirnya, demokrasi itu bukan tentang mereka yang duduk di kursi, tapi tentang kita yang berdiri sebagai manusia merdeka (***) 

×
Berita Terbaru Update