![]() |
Ilustrasi |
Banyuasin Pos – Kehadiran internet telah mengubah cara kita berinteraksi, berkomunikasi, bahkan membentuk pandangan politik. Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, dunia maya juga menyimpan fenomena yang kerap membuat gaduh: trolling dan buzzer politik.
Trolling di internet umumnya dilakukan dengan cara memancing emosi lewat komentar provokatif, menghina, atau menyebarkan isu yang tidak relevan. Tujuannya jelas—menciptakan keributan dan menarik perhatian. Dalam konteks politik, trolling kerap dipakai untuk menggiring opini, memperkuat narasi tertentu, bahkan menyebarkan propaganda.
Di Indonesia, praktik ini semakin terasa, terutama di musim-musim politik. Akun anonim bermunculan, mengisi ruang diskusi publik dengan informasi yang kerap sulit dipertanggungjawabkan. Tak jarang, berita palsu menyusup lewat celah ini.
Berbeda dengan troll yang umumnya bergerak demi sensasi, buzzer memiliki peran yang lebih sistematis. Mereka biasanya bekerja dengan dukungan dana atau instruksi tertentu untuk mempromosikan kepentingan politik pihak yang membayar mereka. Dengan jaringan media sosial yang luas, para buzzer bisa membuat isu tertentu menjadi viral hanya dalam hitungan jam.
Kerap kali, troll dan buzzer bekerja beriringan. Troll melempar pancingan isu, buzzer memperkuat dan menyebarkannya. Dari situ, opini publik bisa diarahkan sesuai kepentingan pihak tertentu. Dampaknya tentu tidak main-main: polarisasi masyarakat semakin tajam, dan kualitas demokrasi bisa ikut tergerus.
Meski demikian, tak semua komentar pedas atau berbeda pandangan bisa disebut trolling. Perbedaan pendapat adalah hal wajar dalam demokrasi. Yang berbahaya adalah ketika ruang diskusi publik dipenuhi narasi yang sengaja dimanipulasi demi tujuan politik jangka pendek.
Karena itu, kita sebagai pengguna internet perlu lebih bijak. Jangan terburu-buru menyebarkan informasi sebelum memeriksa kebenarannya. Bersikap kritis adalah cara sederhana, tetapi penting, untuk menjaga ruang digital tetap sehat (***)