Notification

×

Iklan

Iklan

NU, Profesor, dan Segelas Teh yang Tumpah

Rabu, 10 September 2025 | 10.01 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-10T03:02:30Z

Ilustrasi 

Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan 

Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos 

Kalau ada tamu datang ke rumah, biasanya tuan rumah menyiapkan teh manis hangat. Orang Jawa bilang, teh itu simbol keakraban. Tapi apa jadinya kalau tamu itu datang sambil bercerita tentang betapa bagusnya rumah tetangga yang sebenarnya sedang menjarah sawah kita? Nah, begitulah kira-kira suasana ketika seorang profesor yang katanya canggih itu hadir di forum NU. Teh yang mestinya manis, mendadak terasa getir.


Orang NU ini kan sudah kenyang pengalaman. Dari zaman kolonial, zaman revolusi, sampai zaman sekarang yang serba digital, mereka tetap punya satu kompas: kemanusiaan. Lha kok tiba-tiba ada tamu yang rekam jejaknya justru berlawanan dengan nurani itu. Jadinya ya kayak mengundang penjual sate, tapi dagingnya ternyata daging tetangga yang hilang kambingnya.


Saya yakin, panitia tidak berniat bikin gaduh. Mungkin niatnya biar forum keren, ada tamu dari luar negeri, biar kelihatan “wah”. Tapi kadang kita lupa, yang bikin acara berharga itu bukan aksen bahasa Inggris dari panggung, melainkan kejujuran hati dan ketulusan niat. Apa artinya tepuk tangan panjang kalau setelah itu jamaah pulang dengan rasa janggal di dada?


Rais Aam akhirnya turun tangan. “Stop dulu, kita evaluasi.” Itu bukan sekadar instruksi administratif, tapi lebih seperti bapak rumah tangga yang bilang: “Nak, jangan sembarangan ajak orang masuk rumah.” Karena rumah ini bukan milik satu-dua orang panitia, melainkan rumah besar yang di dalamnya ada sejarah, ada doa para muassis, dan ada nasib umat yang percaya NU selalu berpihak pada yang tertindas. 


Teh yang tumpah memang bikin lantai lengket. Tapi lebih baik lantai lengket sebentar daripada kita pura-pura nggak lihat dan terus duduk manis sambil membiarkan tamu seenaknya bercerita. Karena kalau kita biarkan, bukan cuma teh yang tumpah, tapi marwah dan harga diri kita bisa ikut hanyut.


Jadi mari kita belajar. Bahwa jadi besar bukan berarti harus selalu undang tamu dari luar. Kadang, justru yang menjaga kewibawaan rumah besar ini adalah kiai-kiai kampung dengan sarung kotak-kotak dan peci miring. Mereka yang kalau bicara Palestina, tak perlu banyak teori, cukup doa yang menetes bersama air mata. Nah, teh yang baru mari kita seduh lagi—tapi kali ini jangan sampai tumpah oleh tangan yang salah (***) 

×
Berita Terbaru Update