 |
| Ilustrasi |
Kabar bahwa gaji pegawai negeri sipil (PNS) tidak akan naik di tahun 2026 terdengar seperti hujan gerimis di siang terik: tidak membuat basah kuyup, tetapi cukup membuat hati ciut. Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan, ruang fiskal belum cukup lega untuk menaikkan gaji aparatur negara. Presiden Prabowo pun dalam pidatonya di DPR tidak menyinggung hal ini, memilih fokus membicarakan pangan, energi, pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi kerakyatan.
Bagi sebagian PNS, kabar tersebut terasa seperti déjà vu. Pernah berharap, namun kembali ke kenyataan bahwa dompet akan tetap berisi seperti sedia kala. Sementara itu, harga cabai, beras, dan kopi susu di warung dekat kantor tidak mengenal istilah “ruang fiskal sempit”. Mereka naik dengan riang gembira, tanpa perlu sidang paripurna.
Keputusan ini tentu memiliki alasan. APBN 2026 sudah memiliki daftar panjang belanja negara: Rp3.786,5 triliun, dengan pendapatan Rp3.147 triliun. Artinya, ada defisit yang lumayan, Rp638,8 triliun atau 2,48% dari PDB. Jika diibaratkan rumah tangga, ini seperti memutuskan memperbaiki atap bocor, dapur sempit, dan pagar rumah, meski belum sempat mengganti sofa yang mulai kempis.
Bayangkan obrolan di kantin kantor: “Gaji gak naik, ya?” disambut dengan tawa kecil dan gumaman “Ya sudah, yang penting THR jangan telat.” Humor semacam ini mungkin menjadi cara paling sehat menghadapi realitas ekonomi: tertawa bersama, sambil tetap bekerja sesuai tupoksi.
Meski gaji tak naik, ada hal-hal yang tidak diukur oleh angka di slip gaji: rasa bangga melayani masyarakat, kesempatan membangun daerah, hingga rasa puas ketika pekerjaan selesai tepat waktu. Nilai-nilai ini memang tak bisa dibelanjakan di minimarket, namun dapat menambah isi hati yang kadang lebih penting dari isi dompet.
Jadi, untuk para PNS, mungkin 2026 bukan tahun dompet menggemuk. Tetapi siapa tahu, ini bisa menjadi tahun untuk menggemukkan semangat dan ide-ide kreatif. Bagaimanapun, gaji bisa stagnan, namun dedikasi tidak boleh ikut-ikutan beku (***)
