Notification

×

Iklan

Iklan

Megawati Soekarnoputri

Sabtu, 02 Agustus 2025 | 14.04.00 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-02T07:04:00Z
Ilustrasi


Di bawah pohon jengkol yang teduh, obrolan hari itu tak lagi soal harga cabai atau listrik naik turun. Kali ini, Mang Midun, Jek Pakis, dan Mak Irah membahas kabar hangat dari Bali. “Megawati dikukuhkan lagi jadi Ketua Umum PDIP,” kata Mak Irah sambil membuka bungkus gorengan. Jek Pakis langsung nyeletuk, “Itu namanya jabatan langgeng, bukan sekadar lima tahun sekali. Udah kayak pohon beringin, makin tua makin kuat akarnya.”


Mang Midun yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara juga. “Tapi katanya yang mencium Bu Mega itu Puan sama Prananda. Berarti udah harmonis tuh, nggak ada rebutan kursi.” Jek Pakis tertawa, “Kalau urusan keluarga harmonis sih bagus, tapi urusan regenerasi partai kayaknya belum tentu semulus itu. Soalnya, kita aja di RT kalau pemilihan ketua selalu ramai, apalagi partai besar.”


Mak Irah mengangguk pelan. “Tapi kalau dipikir-pikir, Bu Mega ini seperti ibu dari semua kader PDIP. Setia, konsisten, dan nggak gampang goyah. Masalahnya, kita ini rakyat kecil, pengen juga lihat perubahan nyata, bukan cuma perubahan slogan.” Ia menatap ke arah baliho kampanye lama yang masih terpampang di dekat pos ronda, warnanya mulai pudar, tapi janjinya tetap segar di ingatan.


“Tema kongresnya keren loh, ‘Berderap Dalam Satu Rampak Barisan’,” kata Mang Midun, mencoba serius. “Tapi yang derap kita ini kadang-kadang malah mundur pelan-pelan karena harga sembako.” Mereka bertiga pun tergelak. Bukan mengejek, tapi itulah satu-satunya cara mereka menyikapi dunia politik: dengan tawa dan teh manis.


Menurut mereka, tidak ada yang salah dengan Megawati kembali memimpin. Tapi rakyat juga punya harapan bahwa wajah-wajah baru akan diberi ruang. “Pemimpin itu boleh tua, asal gagasannya muda,” ucap Jek Pakis, entah mengutip siapa. “Dan kalau partai itu rumah besar, ya jangan cuma satu keluarga yang pegang kuncinya.”


Obrolan pun ditutup dengan kesimpulan ringan. “Bu Mega itu seperti warung legendaris,” kata Mak Irah sambil mengemasi dagangannya. “Masih laris dan dipercaya, tapi orang-orang juga mulai nyari resep baru. Yang penting jangan sampai rakyat cuma jadi pelanggan yang bayar mahal, tapi nggak pernah dikasih lauk tambahan.” Mereka pun tertawa kecil, kembali ke rutinitas, sambil tetap mengamati layar ponsel kalau-kalau ada kabar politik baru yang layak dikunyah bersama  kopi sachet (Mang Marji)


×
Berita Terbaru Update