-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Tangisan yang Didengar Langit

Jumat, 14 November 2025 | 09.23 WIB | 0 Views Last Updated 2025-11-14T02:23:00Z
Ilustrasi 

Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan 

Ada air mata yang jatuh tanpa suara, tapi sampai ke langit. Air mata itu bukan milik manusia, melainkan seekor unta. Ia menangis di balik sebuah dinding milik orang Anshar—sendiri, lapar, dan tersakiti. Hingga seorang manusia yang paling lembut di muka bumi lewat di dekatnya, mendengar rintihan yang bahkan malaikat pun mungkin menunduk karena pilu.

Rasulullah ﷺ menghampirinya. Unta itu menangis makin dalam, dan beliau mengusap wajahnya. Seketika, tangisan itu berhenti, seperti air tenang setelah disentuh tangan kasih. Tak ada kata, hanya tatapan penuh makna antara manusia suci dan makhluk yang teraniaya. Dalam diam, ada bahasa rahasia yang tak membutuhkan terjemahan—bahasa kasih yang melampaui bentuk, suara, dan wujud.

Lalu Rasulullah ﷺ memanggil pemilik unta itu, seorang pemuda dari kalangan Anshar. “Apakah kamu tidak takut kepada Allah yang telah memberimu unta ini?” sabda beliau, lembut namun menembus dada. “Sungguh, unta ini mengadu kepadaku bahwa engkau membuatnya lapar dan susah.” Kalimat itu seperti cermin yang memantulkan nurani manusia—betapa sering kita memperlakukan sesama makhluk tanpa rasa takut kepada Sang Pemberi Hidup.

Tangisan unta itu adalah doa, tapi juga dakwah. Ia menegur manusia dengan bahasa penderitaan. Betapa sering kita mengira diri ini lebih tinggi dari makhluk lain, padahal mungkin merekalah yang lebih jujur dalam mencintai Allah. Hewan tak bisa berdusta, tak pandai bersandiwara, tak menutupi luka dengan senyum palsu. Mereka menangis apa adanya—dan langit mendengarnya.

Kisah ini bukan sekadar kisah kelembutan Rasulullah ﷺ terhadap hewan. Ia adalah pelajaran tentang bagaimana rahmat Allah menjalar bahkan kepada makhluk yang tidak punya suara untuk membela diri. Bahwa cinta sejati tak mengenal batas spesies, tak memandang bentuk tubuh, tak menimbang manfaat. Ia hanya memberi, seperti matahari yang tak pernah menagih terima kasih.

Mungkin, dunia hari ini terlalu bising oleh tangisan yang tak didengar. Manusia berteriak soal kemajuan, tapi tak lagi peka terhadap rintihan sesama makhluk. Barangkali yang kita butuhkan sekarang bukan lagi telinga baru, tapi hati yang lebih lembut—hati yang mau berhenti sejenak ketika mendengar tangisan yang hanya langit yang bisa pahami (***) 

×
Berita Terbaru Update