-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Tangisan Bilal di Madinah: Adzan yang Terakhi

Jumat, 07 November 2025 | 06.00 WIB | 0 Views Last Updated 2025-11-06T23:00:00Z
Ilustrasi 

Madinah pagi itu muram. Angin berembus pelan, membawa debu kesedihan yang tak terlihat. Masjid Nabawi berdiri diam, seolah ikut berduka atas kepergian manusia yang menjadi cahaya dunia. Di tepi masjid itu, Bilal bin Rabah berdiri terpaku menatap menara tempat ia biasa mengumandangkan kalimat suci. Sejak Rasulullah ﷺ wafat, lidahnya kelu. Setiap kali mencoba melafalkan takbir, dadanya sesak oleh rindu. Baginya, adzan tanpa Rasulullah bukan lagi panggilan menuju salat, melainkan panggilan menuju luka.


Hari itu, Umar bin Khattab memohon agar Bilal sekali saja mengumandangkan adzan di Madinah. “Sekali ini saja, wahai Bilal,” katanya lembut, “untuk mengingatkan kita pada hari-hari bersama Rasulullah.” Bilal terdiam lama. Lalu, dengan langkah berat dan mata yang basah, ia menaiki menara. Setiap anak tangga yang diinjaknya terasa membawa kenangan — tentang wajah Rasulullah yang tersenyum, tentang suaranya yang menjawab setiap panggilan. Di atas menara itu, Bilal menengadah ke langit, menarik napas panjang, lalu mengucap dengan suara bergetar, “Allahu Akbar, Allahu Akbar…”


Suara itu mengguncang seluruh Madinah. Pedagang menghentikan transaksi, anak-anak berhenti bermain, dan para sahabat terisak di tempat mereka berdiri. Suara Bilal bukan sekadar gema, melainkan kenangan yang hidup kembali. Saat ia sampai pada kalimat “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, suaranya terhenti. Tenggorokannya tersumbat air mata. Nama itu — nama yang dulu ia seru dengan penuh cinta — kini menampar relung hatinya yang paling dalam. Bilal menunduk, menangis, dan tak sanggup melanjutkan adzan.


Hari itu, seluruh Madinah menangis bersamanya. Tangis Bilal menular menjadi tangis umat. Mereka merasa Rasulullah seolah hadir kembali di antara mereka, namun hanya sekejap — seperti cahaya yang datang untuk berpamitan. Bilal turun dari menara dengan wajah yang basah, dadanya bergetar menahan pilu. Ia berkata pelan, “Aku tak akan lagi mengumandangkan adzan setelah hari ini.” Dan benar, sejak hari itu, suara Bilal tak lagi terdengar memanggil manusia menuju salat.


Tahun-tahun berlalu. Bilal hidup di negeri Syam, berjihad di jalan Allah, tapi kerinduan kepada Rasulullah tak pernah surut. Dalam sebuah malam yang tenang, ia bermimpi bertemu Rasulullah ﷺ yang tersenyum padanya dan berkata, “Wahai Bilal, bukankah sudah tiba saatnya engkau datang menemuiku?” Ia terbangun dengan air mata bahagia. Esok paginya, sebelum ruhnya terbang menuju langit, Bilal berkata kepada istrinya, “Besok aku akan bertemu kekasihku, Muhammad dan para sahabatnya.”


Bilal wafat dalam damai, meninggalkan dunia dengan senyum yang tak lagi menyimpan duka. Namun setiap kali adzan berkumandang, umat Islam di seluruh dunia seolah mendengar gema suaranya kembali — suara cinta yang lahir dari hati seorang budak yang merdeka oleh iman. Adzan terakhir Bilal bukan sekadar panggilan salat; ia adalah tangisan rindu seorang sahabat yang mencintai Nabinya lebih dari hidupnya sendiri (***) 

×
Berita Terbaru Update