-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Whoosh, Ketika Kereta Lebih Cepat dari Hati Nurani

Kamis, 30 Oktober 2025 | 09.51 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-30T02:54:36Z
Ilustrasi 

Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan 
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
 

Kita hidup di zaman di mana segalanya berlomba menjadi cepat. Jalan tol dibangun, bandara diperluas, dan kereta diberi nama yang melesat seperti angin — Whoosh. Sebagian dari kita merasa bangga. Akhirnya, Indonesia punya kereta sekelas dunia. Tapi di antara decit roda baja dan gemuruh kebanggaan itu, ada suara kecil yang mungkin tak terdengar: “Apakah nurani kita ikut bergerak secepat itu?”


Kecepatan memang memukau, tetapi ia tak selalu menandakan kemajuan. Ada bangsa yang cepat membangun gedung, tapi lambat membangun kejujuran. Cepat mencetak laporan, tapi lambat menegakkan kebenaran. Mungkin itulah yang sedang kita alami. Ketika proyek besar seperti Whoosh diguncang isu korupsi, kita seolah melihat rel ganda: satu jalur untuk kemajuan, satu lagi untuk kepentingan. Dan yang sering melaju lebih dulu bukan kebenaran, melainkan kepentingan itu sendiri.


Saya tidak hendak menuduh siapa-siapa. Tapi bukankah aneh kalau sebuah lembaga yang lahir untuk melawan korupsi justru dituduh takut? Takut pada siapa? Takut pada apa? Di negeri ini, rasa takut sering lebih cepat menyebar daripada berita baik. Ketika seseorang bicara tentang kejujuran, banyak yang diam — bukan karena tak tahu, tapi karena sudah terlalu sering kecewa melihat kejujuran dikorbankan atas nama stabilitas.


Kita sibuk membangun kecepatan, padahal bangsa ini sudah lama kehilangan arah. Rel yang bengkok tak bisa membuat kereta sampai pada tujuan yang benar, secepat apa pun ia melaju. Begitu pula hukum dan moral. Jika niat awalnya bengkok, maka hasilnya pun tak akan lurus. Keadilan bukan sekadar soal siapa yang bersalah, tapi juga soal siapa yang masih berani bicara di tengah sunyi.


Mungkin kita perlu berhenti sejenak, menepi dari hiruk-pikuk kemajuan. Duduk di pinggir rel dan mendengarkan suara hati sendiri. Sebab yang kita kejar sebenarnya bukanlah kecepatan, melainkan kebenaran. Tidak ada gunanya kereta melesat 350 kilometer per jam, jika hati para pemimpinnya masih tertinggal di stasiun yang bernama nurani.


Dan ketika sejarah nanti menulis tentang bangsa ini, semoga yang tercatat bukan hanya tentang Whoosh yang cepat, tapi tentang manusia-manusianya yang akhirnya berani berjalan pelan — demi memastikan bahwa keadilan benar-benar sampai di tujuan. Karena sejatinya, yang paling cepat bukanlah mesin, melainkan hati yang jujur (***) 

×
Berita Terbaru Update