![]() |
Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Ada yang menarik dari berita tentang Kereta Whoosh—kereta cepat yang katanya jadi simbol kemajuan, tapi belakangan justru melambat gara-gara urusan utang. Rosan P. Roeslani, orang besar di Danantara, bicara dengan tenang: “Tenang, ini tidak akan membebani APBN.” Kalimat itu sederhana, tapi punya efek menenangkan, seperti guru ngaji di kampung yang bilang, “Sabar ya, rezeki itu tidak pernah salah alamat.”
Tapi di balik tenangnya kalimat itu, ada rasa was-was yang masih menggantung di udara. Sebab kita tahu, di negeri ini, “tidak membebani APBN” sering kali bukan akhir cerita, melainkan pembuka bab baru. Kita ingin percaya, tapi juga ingin memastikan: jangan sampai kereta cepat ini berjalan di atas rel yang dibangun dari janji-janji kosong.
Saya tidak tahu bagaimana rasanya jadi Rosan atau Menteri Purbaya. Tapi saya tahu rasanya jadi rakyat yang setiap bulan membayar pajak dan berharap uang itu kembali dalam bentuk yang masuk akal—bukan proyek yang cepat di awal tapi lambat di akhir. Kalau proyek ini bisa diselesaikan tanpa menambah beban negara, tentu kita layak berterima kasih. Tapi kalau tidak, ya... semoga kita tidak cuma jadi penonton yang disuruh bertepuk tangan.
Kereta Whoosh ini sebenarnya bukan sekadar soal rel, utang, dan kecepatan. Ia simbol dari cara kita bernegara: apakah kita membangun karena kebutuhan rakyat, atau karena ingin tampil gagah di hadapan dunia. Kadang, pembangunan itu seperti pesta pernikahan mewah—di luar megah, di dalam masih ada cicilan yang menunggu tanggal jatuh tempo.
Yang membuat saya sedikit lega adalah, kali ini ada niat baik untuk menanggung sendiri, tanpa menyandarkan pundak pada APBN. Kalau benar Danantara mau menebus dengan uangnya sendiri, itu langkah dewasa. Seperti anak muda yang mulai berhenti minta uang saku dan belajar menanggung biaya hidupnya sendiri. Mungkin dari situ, kita bisa belajar: bahwa kemajuan tak hanya soal kecepatan, tapi juga soal tanggung jawab.
Akhirnya, saya hanya berharap kereta itu benar-benar melaju dengan tenang—bukan karena utangnya lunas, tapi karena hati kita ikut tenang melihat negeri ini mulai belajar menata dirinya dengan lebih jujur. Sebab, sebesar apa pun rel yang dibangun, kalau hati dan niatnya bengkok, kereta itu tetap akan tersesat di stasiun yang salah (***)