Di dataran tinggi Pasemah, Sumatera Selatan, istilah marga sejak lama lebih dari sekadar penanda garis keturunan. Berawal dari komunitas sumbay—kelompok kekerabatan dalam satu wilayah yang dipimpin jurai tua bergelar Pase-lurah—sistem ini menjadi pondasi harmoni sosial yang berbasis musyawarah antar tetua, simbol demokrasi lokal sebelum negara modern hadir.(05/10/25)
Empat sumbay membentuk satu suku, sementara tiap kelompok kecil atau sosokan tetap tunduk pada keputusan bersama. Tradisi ini mengajarkan pentingnya mufakat dalam menjaga ketertiban dan keharmonisan hidup masyarakat Pasemah, cikal bakal Banyuasin kini.
Perjalanan waktu membawa transformasi besar; federasi suku berbasis wilayah (territorial rechtgemeinschaft) tampil menjadi satuan marga yang tidak lagi hanya soal darah, tapi juga hubungan batin dan hukum adat. Di fase selanjutnya, marga bertumbuh layaknya institusi pemerintahan mini yang mengelola perdagangan, pengaruh politik, hingga bernegosiasi dengan kekuatan kolonial dan kerajaan sekitarnya.
Momentum penting hadir saat Kesultanan Palembang (1455–1825) memberi pengakuan resmi terhadap pemerintahan marga di Banyuasin. Puncak kepemimpinan bertitel Rie atau Rijo, gelar yang diwariskan dari Sultan Palembang kepada tokoh-tokoh yang terbukti mampu; anak-anak Rie pun dipersiapkan menjadi pemimpin penerus.
Memasuki era kolonial Belanda sekitar 1850, sistem marga diadaptasi—jabatan Rie berubah menjadi Pesirah Kepala Marga, lengkap dengan aturan ketat. Pesirah yang sukses dua periode bahkan berhak menjadi pangeran. Salah satu figur legendaris adalah Pangeran Zainal Abidin dari Pangkalan Balai, yang diangkat langsung Residen Belanda.
Hingga masa pesirah berakhir, hukum adat tak pernah tercerabut. Undang-Undang Simbur Cahaya tetap menjadi rujukan utama perilaku dan penyelesaian masalah sosial, membentengi masyarakat dari kegamangan zaman.
Jejak marga di Banyuasin adalah kisah panjang bagaimana satu istilah sederhana berevolusi menjadi sistem sosial, politik, dan hukum yang kompleks, kokoh, dan adaptif. Dari lembah Pasemah sampai koloni Belanda, marga tetaplah simbol identitas, kekuatan, dan persatuan masyarakat Banyuasin.(**)
Sumber: Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah Banyuasin 2019