![]() |
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa |
“Sebentar lagi akan ada penangkapan besar-besaran. Saya tidak peduli siapa di belakangnya. Di belakang saya, Presiden,” ujar Purbaya di Jakarta, Sabtu (16/10). Kalimat itu terdengar seperti genderang perang. Bukan terhadap rakyat, tapi terhadap para “pemain bayangan” yang selama ini menjadikan aturan sebagai bahan tawar-menawar.
Menurutnya, pembersihan ini akan dimulai dari sektor yang paling sering disusupi praktik kotor: rokok, tekstil, dan baja. Barang-barang selundupan di sektor itu telah lama menjadi racun yang menggerogoti industri dalam negeri. Purbaya tak segan menyebut bahwa ada oknum di Bea Cukai yang melindungi praktik keluar-masuk barang ilegal. “Kalau bintang tiga nggak sanggup, kita lapor ke Presiden. Karena yang di atas saya cuma beliau,” katanya tanpa tedeng aling-aling.
Langkah keras ini bukan tanpa alasan. Hingga awal Oktober 2025, realisasi pajak baru mencapai 62,4 persen dari target Rp2.189 triliun. Sementara penerimaan bea cukai masih mentok di 73,4 persen dari target Rp301 triliun. Angka-angka ini menunjukkan ada kebocoran serius di lapangan, sesuatu yang tak bisa ditambal dengan wacana semata.
Publik mungkin masih ingat ketika Purbaya pernah mendapat laporan masyarakat bahwa ada oknum pegawai Bea Cukai yang sering nongkrong santai di Starbucks saat jam kerja. “Kalau begitu caranya, ya saya persulit hidupnya,” ucapnya waktu itu, setengah bercanda tapi dengan makna yang jelas: tak ada lagi ruang untuk gaya hidup mewah di tengah pelayanan publik yang bocor.
Kini, saat rumor “pembersihan besar” kian berembus, para pegawai di lingkungan Kemenkeu tampaknya mulai menatap sekeliling dengan waspada. Namun bagi banyak pihak, langkah ini adalah angin segar — tanda bahwa reformasi birokrasi yang sering digaungkan mungkin benar-benar dimulai. Dan jika Purbaya konsisten, mungkin untuk pertama kalinya rakyat akan melihat bahwa “bersih-bersih” bukan sekadar jargon, tapi kerja nyata yang terasa sampai ke ujung pelabuhan dan gudang cukai (***)