-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Kafe Mewah, Rokok Selundupan, dan Purbaya yang Mulai Tak Sabar!

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 17.20 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-18T10:20:37Z
Pandangan Redaksi Banyuasin Pos 

Langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk melakukan pembersihan besar-besaran di tubuh Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai menandai babak baru dalam upaya memberantas praktik korupsi yang telah lama membusuk di jantung birokrasi fiskal Indonesia. Di tengah menurunnya kinerja penerimaan negara, pilihan Purbaya untuk langsung “turun tangan” menunjukkan bahwa pemerintah tak lagi mau bersembunyi di balik laporan dan teori. Keberanian untuk mengumumkan akan adanya “penangkapan besar-besaran” secara terbuka juga menjadi pesan politik yang kuat: kali ini, publik diundang menjadi saksi.


Langkah itu tentu menimbulkan kegelisahan di kalangan aparat keuangan negara. Di satu sisi, masyarakat menyambut dengan harapan baru bahwa reformasi birokrasi akhirnya bergerak dari slogan menuju tindakan konkret. Di sisi lain, muncul kekhawatiran apakah langkah ini bisa berlangsung tanpa menjadi sekadar “aksi simbolik”. Pengalaman menunjukkan bahwa gerakan “bersih-bersih” kerap tersendat di tengah jalan — bukan karena kurangnya niat, melainkan karena kuatnya jaringan kepentingan yang telah lama bercokol di balik meja pungutan dan izin.


Konteksnya tak sederhana. Di tengah target penerimaan negara yang belum tercapai, tekanan publik atas transparansi makin tinggi. Masyarakat sudah jenuh dengan cerita pegawai pajak atau bea cukai yang bergaya hidup mewah di tengah krisis ekonomi. Ketika Purbaya menyindir oknum yang nongkrong di kafe mahal saat jam kerja, publik menangkap pesan yang lebih dalam: ketimpangan moral di antara mereka yang seharusnya menjadi pelayan rakyat. Reformasi, dalam hal ini, bukan sekadar soal angka atau penangkapan, tetapi perubahan budaya kerja dan mentalitas aparatur.


Redaksi berpendapat bahwa langkah Purbaya patut diapresiasi sebagai momentum awal, namun harus dijalankan dengan kehati-hatian dan sistem yang transparan. Pembersihan tanpa peta jalan dan mekanisme kontrol justru berisiko menimbulkan ketakutan, bukan pembenahan. Reformasi sejati membutuhkan keberanian yang seimbang dengan akuntabilitas. Jika yang bersalah dihukum, maka yang berintegritas juga harus dilindungi. Tanpa keseimbangan itu, upaya bersih-bersih bisa berubah menjadi kampanye politik yang kehilangan arah moralnya.


Selain itu, publik perlu melihat hasil nyata, bukan hanya pernyataan keras. Reformasi di sektor pajak dan bea cukai membutuhkan pembenahan sistem pengawasan, digitalisasi yang transparan, serta perlindungan bagi pelapor pelanggaran (whistleblower). Selama instrumen ini belum diperkuat, maka praktik kotor hanya akan berpindah bentuk, bukan menghilang. Di titik inilah, keberanian Purbaya diuji: mampukah ia mengubah struktur yang selama ini melindungi oknum, bukan rakyat?


Pada akhirnya, publik menunggu bukti, bukan slogan. Keberanian berucap keras di podium harus diikuti dengan tindakan yang adil di lapangan. Bila langkah ini konsisten dan tidak tebang pilih, maka bersih-bersih kali ini bisa menjadi babak penting dalam sejarah panjang reformasi birokrasi Indonesia. Namun jika berhenti di tengah jalan, publik akan kembali menyimpulkan: bahwa di negeri ini, bahkan “pembersihan” pun bisa menjadi komoditas politik. (***)

×
Berita Terbaru Update