![]() |
Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Di Gaza, langkah-langkah kecil kini terdengar di antara reruntuhan yang diam. Rumah-rumah yang dulu menjadi saksi tawa anak-anak kini hanya menyisakan puing dan debu, namun warga tetap melangkah pulang. Ada sesuatu yang lembut dalam cara mereka menapaki tanah yang pernah menangis — seolah ingin berkata, “Kami masih di sini, meski dunia sempat lupa.”
Bagi mereka, pulang bukan sekadar kembali ke tempat tinggal. Pulang adalah menyambut kenangan yang tersisa, memungut fragmen kehidupan yang tercecer di antara serpihan. Seorang ibu membawa karung pakaian, seorang ayah menyingkirkan batu bata sisa rumah mereka, dan anak-anak tetap menggenggam mainan yang hampir hancur. Semua itu menjadi tanda bahwa manusia selalu menemukan cara untuk bertahan, bahkan ketika dunia tampak tak bersahabat.
Perdamaian diumumkan dari jauh, dari podium-podium yang mewah dan layar kaca. Namun di Gaza, kedamaian terasa seperti embun pagi: rapuh, sejuk, dan menenangkan hati yang lelah. Warga belajar menerima bahwa damai itu bukan sekadar kata, tapi tindakan — menata kembali rumah, menyapa tetangga, dan menyulam kehidupan dari reruntuhan yang tersisa.
Langkah mereka ringan, tapi hati mereka berat. Ada kesedihan yang terselip di antara senyum, ada kerinduan yang tersembunyi di balik pandangan yang tajam. Semua yang terjadi selama perang meninggalkan bekas yang tak terlihat oleh dunia luar, tapi jelas terasa di setiap sudut jalan dan dinding yang retak.
Yang indah dari pulang adalah kemampuan manusia menemukan humor dalam kesederhanaan. Bocah-bocah berlari mengejar kucing di halaman yang hancur, ibu-ibu bercanda tentang sayur yang masih bisa dimakan, dan orang-orang tua saling menepuk punggung, seakan berkata, “Kita masih hidup, masih bisa melanjutkan.” Dari cara sederhana itu, kehidupan kembali berdenyut.
Gaza mungkin pernah menangis, tapi hari ini ia tersenyum pelan. Reruntuhan tetap ada, tetapi manusia selalu mampu menanam harapan di antara debu. Pulang ke tanah yang pernah menangis bukan sekadar perjalanan fisik; itu adalah perjalanan hati, yang mengajarkan kita bahwa meski luka tak hilang, hidup tetap layak dirayakan (***)